http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

Tuesday, April 4, 2017

BMKG LUNCURKAN OCEAN FORECAST SYSTEM UNTUK PANTAU CUACA DI LAUT



Foto Menko Luhut hadiri peluncuran OFS (Helda-detikcom)

Jakarta – Indonesia merupakan negara maritim yang sangat membutuhkan informasi cuaca laut. Untuk itu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meluncurkan informasi OFS (Ocean Forecast System).

Pernyataan itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di acara launching yang berlangsung di gedung BMKG, Jalan Angkasa, Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Jumat (31/3/2017). Luhut mengaku bangga atas fasilitas yang diluncurkan oleh BMKG tersebut.

“Terus terang saya bangga melihat fasilitas itu kelasnya kelas dunia,” ujar Luhut.

Sebelum sistem OFS diluncurkan, BMKG telah memiliki sistem peringatan dini cuaca di bidang kemaritiman, namun informasi itu hanya terkait gelombang tinggi air laut. Guna meningkatkan informasi terkait bidang kemaritiman tersebut, BMKG membangun OFS pada tahun 2016 dan secara resmi diluncurkan hari ini.

“BMKG hari ini sudah meresmikan fasilitas mereka yang baru,” katanya.

Melalui sistem OFS ini, masyarakat tidak hanya bisa memperoleh informasi mengenai gelombang tinggi air laut. Informasi mengenai arus, suhu, salinitas per lapisan kedalaman dan informasi trajectory yang dapat dimanfaatkan untuk monitoring tumpahan minyak di laut serta mendukung operasional Search and Rescue (SAR) juga bisa didapatkan.

Informasi sistem OFS ini tersedia selama 24 jam dan memberikan informasi cuaca laut hingga tujuh hari ke depan. Selain itu informasi ini juga bisa diakses oleh public melalui alamat website peta-maritim.bmkg.go.id/ofs.

Menko Luhut Apresiasi Kinerja BMKG

Selain meresmikan sistem OFC, Luhut dalam kunjungannya juga sempat mengunjungi Tsunami Early Warning System (Sistem Peringatan Dini Tsunami). Luhut juga mengapresiasi kinerja BMKG.

“BMKG dalam waktu tidak lebih dari lima menit sudah bisa memberikan laporan atau breaking news kalua ada tsunami misalnya, itu di seluruh Indonesia, jadi saya mengapresiasi” kata Luhut.

Luhut juga mengapresiasi kinerja BMKG di bidang geofisika yang mampu mendeteksi uji coba ledakan nuklir yang pernah terjadi sebelumnya di Korea Utara tahun lalu. Selain itu, di bidang Climate Early Warning System (sistem peringatan dini iklim), menurut Luhut, informasi yang diberikan oleh BMKG juga mampu membantu pemerintah.

“Prakiraan cuaca dan iklim saya lihat bagus. Bisa membantu pemerintah di dalam mengambil keputusan kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam dan kapan waktunya untuk panen,” kata Luhut.

Foto : Menko Luhut hadiri peluncuran OFS (Helda-detikcom)

Luhut juga kembali memuji BMKG atas pencapaian tersebut. Dia merasa bangga dengan komitmen BMKG untuk menggunakan software dan tenaga ahli dalam negeri.

“Sehingga dengan demikian bangsa kita ini bisa juga men-supply high tech untuk kepentingan sendiri tanpa selalu bergantung dari luar. Nah spirit ini yang harus saya apresiasi kepada pak Andi dan seluruh tim yang telah membuat institusi ini begitu bergengsi,” tuturnya.

BMKG yang kini memiliki lima orang mahasiswa yang berasal dari luar negeri, menurut Luhut, menunjukkan bahwa BMKG merupakan akademi yang bergengsi. Dia mengaku bangga atas hal tersebut.

“Mereka punya akademi BMKG dan sekarang punya 5 mahasiswa yang berasal dari luar negeri yaitu Timur Leste, Malaysia, Singapura, Papua Nugini, Brunei dan ini diakui oleh Badan Meteorologi Internasional sebagai pusar untuk monitor masalah tsunami. Saya kira Indonesia bangga melihat institusi yang baik ini,” tutupnya.

(hld/rvk)

sumber : https://news.detik.com/berita/d-3461435/bmkg-luncurkan-ocean-forecast-system-untuk-pantau-cuaca-di-laut#main / Heldina Ulri Lubis Jumat 31 Maret 2017 12:39 WIB

Pemanasan Global dan Ketidakbulatan Bumi


oleh : Andi Eka Sakya


Kita bersyukur bahwa 70% permukaan bumi berisi air. Kalau tidak, niscaya kenaikan suhu muka bumi akan lebih dahsyat dibanding yang sekarang terjadi. Lautan yang luas dan dalam ini menyerap lebih dari 90% panas di atmosfer. Di dalam lautan, panas itu tidak diam begitu saja. Perbedaan panas yang terjadi serta gravitasi antarlokasi mendorong panas tersebut bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya.

Alur jelajah panas ini dari kedalaman menuju ke permukaan. Di permukaan, selain panas ini mengubah air permukaan menjadi uap, juga bergerak sesuai dengan arah gerak angin permukaan. Mekanisme ini terus berjalan, bergantung dari tingginya suhu permukaan, demikian pula jumlah besarnya uap air yang dilepaskan oleh lautan yang demikian luasnya.

Ketidak-merataan pancaran sinar matahari, lokasi, topografi dan juga gravitasi "mengatur" iklim di berbagai wilayah di dunia. Mekanisme pelepasan panas dari laut ke permukaan dalam bentuk uap air tersebut, tampaknya tidak seperti zero sum game. Sisa panas yang tidak terhamburkan keluar, masih tetap berada di dalam lautan. Entah karena potensi pendorongnya tidak cukup atau karena interaksi di permukaan antara lautan dan atmosfer yang menahannya, tetapi "sisa" panas ini terus terpumpun. Sampai saat ini dipercaya bahwa pengaruh gravitasi telah mendorong pumpunan panas ini terkumpul di area kolam panas di sekitar wilayah ekuator, biak itu di Samudra Pasifik atau pun di Samudra Hindia.

Pelepasan panas dalam jumlah yang sangat tinggi, sebagai akibat dari "penyimpanan" panas dalam jumlah yang sangat besar dan tersimpan cukup lama, menjadikan mekanisme iklim mengalami ekstrimitas. El Nino dan La Nina merupakan salah satu dampak ekstrimitas tersebut. Di wilayah Samudra Hindia, ekstrimitas tersebut muncul dalam fenomena yang sering disebut Indian Ocean Dipole Mode (IOD) positif dan negatif.

Dua gejala ekstrimitas alam yang mirip mekanismenya. Keduanya terjadi di-trigger oleh pelepasan panas lautan di sekitar ekuator. Pada masa lalu, bahkan "waktu" pelepasan ini dipahami secara periodikdan teratur dalam waktu 7 tahunan. Tetapi, keniscayaan pemanasan global, membuka mata para pakar bahwa ternyata waktu pelepasan tersebut tidak teratur.

Saat alam sedang dalam masa menangguk dan mengumpulkan sisa-sisa panas yang tidak "terlepas", kita di Indonesia, mengalami periode musim kemarau dan hujan yang "biasa. Musim hujan dan kemarau bertukar peran dalam waktu enam bulanan. Tetapi saat alam melepas hasil "pumpunan" sisa panas, di Indonesia merasakan kemarau yang tak berkesudahan seperti saat kita mengalami El Nino tahun 2015. Jika kejadian tahun 2015 tersebut, berbareng dengan pelepasan panas di Samudra Hindia, IOD positif, maka kita akan mengalami masa kering yang lebih dahsyat lagi, seperti terjadi pada saat tahun 1997/1998.

Sebalikannya, pelepasan yang demikian besar juga menyebabkan alam "kehilangan"energi yang besar. Proses pendinginan sebagai dampak dari besarnya pelepasan energi panas sangat besar, alam perlu menunggu untuk kembali kepada "kondisi" normalnya. Saat itu, terjadi fenomena kebalikan dari El Nino, yaitu La Nina. Di Indonesia, kita mengalami tambahan pasokan hujan yang lebih tinggi dari kondisi biasanya. Hal ini terjadi saat tahun 2016, ketika hampir sebagian wilayah Indonesia tidak mengalami musim kemarau.

Jika pun toh terjadi kemarau, waktunya sangat pendek. Pada tahun 2016 itu, selain La Nina pada tingkat moderat, terjadi pula IOD negatif, yang menambah pasokan uap air bagi Indonesia. Oleh karenanya, masyarakat juga merasakan dan mencatat bahwa di sebagian besar wilayah barat Indonesia, tidak mengalami musim kemarau sama sekali. Dari sejak 50 tahun yang lalu, periode El Nino dan La Nina ini menunjukkan peristiwa yang berurutan. Tahun 2017, ini diperkirakan kondisi iklim di Indonesia berada pada kondisi antara tahun 2015 dan 2016.

Mengapa?

Betapa pun spekulasi tentang proses pelepasan dan penanggukan panas ini dipahami sebagai jawaban dari peristiwa ekstrim di atas, tetapi mekanisme yang sesungguhnya mendorong terjadinya, masih belum banyak diungkapkan. Penjelasan yang diberikan selama ini merujuk pada simulasi komputer. Majalah Economist terbitan 23 Agustus 2014 mencoba menjelaskannya dengan merujuk kajian yang dilakukan Dr. Chen Xianyao (Ocean University of China, Qindao) dan Ka-Kit Tung (University of Washington).

Data yang mereka kumpulkan diperoleh dari hasil pengamatan 3000 Argo yang merupakan bagian dari kerja sama internasional. Kedua peneliti ini menunjukkan konfirmasinya terhadap konsep penanggukan dan pelepasan panas terkait dengan ekstrimitas iklim. Kedua peneliti menunjukkan mekanisme penanggukan panas tersebut tidak hanya sebatas di wilayah Pasifik bagian timur, tetapi juga merambah ke Atlantik.

Kedua peneliti juga menunjukkan bahwa lapisan air laut yang asin di wilayah tropis bergerak ke arah kutub. Saat mendekati kutub, pergerakannya tertahan oleh pertemuan dengan air laut yang lebih segar, dan memperlambat laju pertukaran panas. Mekanisme lebih jauh dari proses ini masih belum diketahui secara pasti. Pemahaman mekanisme ini secara lebih detail, akan membantu proses prediksi pemanasan global yang saat ini terjadi.

Di pihak lain, pergerakan air laut di kedalaman dan pertukarannya, selain disebabkan oleh mekanisme perbedaan salinitas dan suhu, juga didorong oleh gravitasi. Newton yang pertama kali mendefinisikannya setelah memimpikan jatuhnya buah apel dan kemudian menuliskan perumusannya di dalam sebuah makalah yang diterbitkan oleh Jurnal Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, di tahun 1867.

aktual.com

Sejak itu, tetapan gravitasi menjadi bidang yang banyak diteliti dan dibahas. Untuk merujuk ke Newton, tetapan gravitasi universal dituliskan G (huruf besar, 6,6742 m3s-2kg-1). Gravitasi dalam pengertian sebagai gaya tarik, umumnya dinyatakan dalam g (huruf kecil), mempunyai harga yang berbeda untuk lokasi yang berlainan. Seperti telah diketahui bahwa g (huruf kecil, gravitasi bumi) biasanya dipakai angka 9,8 m/s2. Variasi di bumi sekitar 0,7% yaitu antara 9,7639 m/s2 di Perudan 9,8337 m/s2 di permukaan Laut Artik.

 
Postdam Geoid - permukaan bumi berdasarkan variasi gravitasi

Perkembangan teknologi modern, memungkinkan untuk memetakan setiap titik lokasi di bumi dan besarnya gravitasi yang riil. Dalam kaitan ini, Amerika bekerja sama dengan Jerman meneliti gravitasi melalui proyek Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE). Proyek ini diakui sebagai kegiatan yang menghasilkan peta baru gravitasi bumi di setiap lokasi.

Tim GRACE menemukan medan gravitasi berfluktuasi hingga 200 meter. Dr Lee-Lueng Fu mengatakan perbedaan ketinggian muka bumi – betapapun tampaknya datar – ternyata bergelombang seperti bukit dan gunung. Yang menarik adalah hasil pengamatan GRACE tersebut menjadi basis perhitungan oleh Tim GFZ Postdam untuk menggambarkan permukaan bumi berbasis gravitasi.

Mereka merilis geoid (peta rupa purwa bumi), Postdam geoid, yang ternyata tidak bulat seperti kita pahami saat ini. Perbedaan ketinggian permukaan Samudra Hindia dengan wilayah di timur Indonesia bisa mencapai 150 m dilihat berdasarkan variasi gravitasi yang terukur (lihat gambar).

Para peneliti masih berspekulasi bahwa variasi medan gravitasi yang menghasilkan "Potsdam Potato" ini juga dipengaruhi oleh perbedaan arus, angin dan pasang surut. Perbedaan salinitas ternyata juga memacu laju pergerakan arus laut di kedalaman terkait dengan proses penghantaran panas dari wilayah tropis ke kutub.

Proses penelitian yang akurat seperti yang dihasilkan GRACE, telah menghasilkan peta sebaran medan gravitasi yang jauh lebih teliti. Tampaknya para peneliti akan memahami secara lebih jelas tentang pemanasan global, manakala ketidakbulatan bumi mengantar pada pemahaman sirkulasi laut secara global, mekanisme penyimpanan panas dan tinggi muka laut.



Andi Eka Sakya
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika


Sumber : Majalah Sains Indonesia Edisi Maret 2017 vol 63

Wednesday, February 15, 2017

Kunjungi BMKG, Menhub Coba Alat Simulator Gempa



Jakarta - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sore ini melakukan kunjungan kerja ke Kantor Pusat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika di Jalan Angkasa I, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (15/2/2017).

Budi Karya tiba di lokasi sekitar pukul 15.20 WIB, dengan mengenakan seram lengkap Kementerian Perhubungan. Dirinya datang didampingi oleh Sekretaris Jendral Kementerian Perhubungan Sugihardjo, serta Dirjen Perhubungan Udara Suprasetyo dan Dirjen Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono.

Setibanya di lokasi, ia langsung disambut oleh Kepala BMKG Pusat, Andi Eka Sakya serta sejumlah pegawai BMKG lainnya yang telah menunggu.


"Selamat datang Pak," sambut Andi.


Di BMKG, Budi Karya sempat merasakan alat simulator gempa bumi yang ada di sana. Dirinya didampingi Andi Eka mencoba simulasi gempa berkekuatan 8,5 Skala Richter (SR) yang sempat melanda Banda Aceh pada tahun 2004 silam.

Usai mencoba simulator gempa bumi, Budi Karya kemudian melihat diorama sistem peringatan dini tsunami Indonesia, sambil mendengarkan penjelasan dari Andi Eka.

Setelah beberapa waktu berbincang sana-sini dengan pihak BMKG, Budi Karya bersama rombongan kemudian menaiki lift ke lantai 4 menuju ruang Meteorologi Early Warning System (MEWS) dan ruang Tsunami Early Warning System (TEWS). (dna/dna)