http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

Thursday, June 30, 2016

La Nina: Peluang Baik atau Bencana?







Ratna Satyaningsih, Andi Eka Sakya dan 
Ardhasena Sopaheluwakan -



Yang menarik, El Nino – La Nina berjalan mengikuti suatu siklus klimatologis tertentu. Pada siklus normal suhu permukaan laut, kolam panas di Pasifik seolah-olah mengikuti gerak semu matahari dengan jeda sekitar dua bulan.

Pasca El Nino 2015/2016, masyarakat Indonesia dihadapkan pada kegalauan baru. Terutama terkait dengan musim. Hari-hari pada bulan Mei dan Juni, mestinya hujan sudah jarang. Alih-alih hujan berhenti, berbagai wilayah justru banyak dilanda banjir bandang, puting beliung dan longsor. 
Di Langkat, banjir bandang terjadi. Kejadian serupa juga melanda Sumatra Barat dan Riau. Jayapura pun demikian. Polewali dilanda pu-ting beliung yang memorak porandakan rumah penduduk. Apa yang terjadi? Apakah tak ada kemarau  di tahun ini? Ekstrimitas iklim  apa yang menyebabkan hujan tiada mau berhenti. Februari, BMKG telah memprakirakan bahwa musim kemarau di Indonesia secara rerata akan terlambat dua bulanan. Sampai akhir Mei 2016, baru 31.9% wilayah yang memasuki musim kemarau. Indeks ENSO masih 0.3, walaupun nilanya terus meluruh dan awal Juni tercatat -0.4. Nilai indeks normal semestinya tidak membuat kemarau mundur  lama. 
Dampak El Nino 2015 terbilang besar. Dalam 3 bulan, hampir Rp 200 triliun (0,2% PDB) hilang. Kegagalan panen, berhentinya aktivitas transportasi, belum lagi “beban kerugian jangka panjang” akibat terhirupnya asap ke dalam paru-paru. Sebagai perbandingan, di Thailand, El Nino membebani kerugian sekitar 0.15 % PDB. 
Di ujung lain ekstrimitas, La Nina tak hanya menimbulkan dampak ekonomis yang negatif, tapi juga positif. Di sektor pertanian, misalnya, curah hujan yang lebih tinggi daripada normalnya di musim kemarau dapat meningkatkan kasus banjir dan serangan hama dan penyakit di daerah yang rawan banjir. Sebaliknya, di lahan tadah hujan dapat meningkatkan luas panen. 

Kejadian El Nino yang diiringi La Nina berdampak pada produksi kopi. Sebagai produsen kopi terbesar keempat di dunia, besar kemungkinan berdampak positif terhadap harga kopi Indonesia di pasar dunia. Di sektor per-ikanan, La Nina mendatangkan lebih banyak ikan tuna di perairan Indonesia akibat massa air hangat yang masuk dari Pasifik Barat mencapai perairan Makassar dan Banda. Di sisi lain, perlu diantisipasi gelombang tinggi saat La Nina. 

Ekstrimitas iklim yang terjad dan berdampak bagi Indonesia, bukan hanya El Nino, tetapi juga La Nina - yang secara fenomenologis berdampak pada tambahan hujan. Sebagai negara khatulistiwa, ternyata indonesia dikelilingi oleh berbagai faktor iklim. Di sebelah Timur, agak jauh mendekati Amerika Selatan, El Nino dan La Nina. Kolam hangat dan dingin di Pasifik Timur dan Tengah yang dampaknya berpengaruh pada pasokan uap air di Indonesia. Di sebelah  Timur Afrika, ada Indian Ocean Dipole (IOD) atau Dipole Mode. Pada IOD positif, akan berdampak berkurangnya pasokan uap air ke Indonesia. Sebaliknya saat negatif terjadi curahan hujan berlebih. Kedua fenomena di atas, dapat dilihat berlebih. Kedua fenomena di atas, dapat dilihat dari suhu permukaan laut global, paling tidak di khatulistiwa memanjang dari afrika hingga Amerika Selatan.

Faktor iklim lain adalah angin monsun Asia dan Australia. Kedua pole angin ini bergerak dan berubah dipengaruhi oleh posisi matahari. Pola ini berpengaruh pada hampir 70% wilayah Indonesia. Namun demikian, pola monsun ini terpengaruh pula oleh ekstrimitas yang muncul saat terjadi El Nino atau La Nina dan IOD positif atau negatif.

Selain itu, juga dipengaruhi "gangguan cuaca sub-seasonal" seperti Madden-Julian Oscillation (MJO). MJO ini berupa aglomerasi pemampatan dan perenggangan udara yang bergerak dari Samudra Hindia menuju ke timur  ke arah Pasifik. Jika MJO melewati Indonesia , maka akan terjadi hujan sangat lebat seperti dialami Pangkalpinang beberapa saat lalu, atau banjir  Jakarta awal 2013. Badai tropis, walau tidak lewat Indonesia terutama di khatulistiwa, dampaknya juga pada intensitas hujan tinggi. Demikian pula, seruak dingin baik dari Utara maupun selatan. Berbeda dengan ekstrimitas iklim yang memakan waktu agak panjang (lebih dari 1 bulan), dampak gangguan cuaca sub-seasonal  paling lama  1 minggu.

Perkembangan teknologi sekarang telah memungkinkan berbagai peristiwa gejala alam terkait dengan ekstrimitas iklim dan cuaca terprediksi secara baik. ENSO, misalnya, berbagai lembaga dunia telah mengembangkan tool  untuk memprediksinya. El Nino dan La Nina, misalnya, model matematis dari berbagai lembaga meteorologi dunia telah memprakirakannya. Simulasi model matematika-fisis suhu permukaan laut secara global disimulasikan di Pusat Prakiraan Iklim dan Lingkungan (National Center for Environmental Prediction, NCEP) di bawah NOAA (National Oceanographic and Atmospheric Administration) di Maryland, Amerika. Hasilnya berupa gambaran perkembangan suhu permukaan laut secara global 6 (enam) bulan ke depan.

Prediksi teoretis tersebut tetap saja perlu dijustifikasi dengan pengamatan riil. Antara lain pengamatan ENSO oleh NOAA dan JMA (Japan Meteorological Administration) di Pasifik Timur dan Tengah. Namanya Tropical Atmospheric Ocean (TAO), berupa buoy yang terpasang di Samudra Pasifik. Mulai dipasang 1985, data ENSO diambil dari setidaknya 70 moorings. Tahun 2000, TAO berubah menjadi TAO/TRITON Array sebagai apresiasi terhadap sumbangan Triangle Trans Ocean Buoy Network (TRITON) Moorings yang dioperasikan JAMSTEC di sepanjang 156o BT. 

Data dari TAO/TRITON Array memberikan gambaran perkembangan suhu muka laut di lokasi Pasifik dan di kedalaman laut hingga 500 meter di bawah laut. Data dapat diakses secara terbuka dan di gunakan sebagai rujukan berbagai lembaga meteorologi dunia, termasuk BMKG. Hal ini juga menjelaskan mengapa setiap lembaga meteorologi dunia mempunyai prediksi trend kemungkinan terjadinya El Nino atau La Nina yang berbeda. Namun demikian, untuk memastikan "indeks" ENSO yang benar, semua lembaga merajuk pada hasil pengamatan TAO/TRITON tersebut. Pada gambar menunjukkan hasil pengamatan perkembangan suhu muka laut dan suhu di bawah laut pada periode tertentu.

Evolusi suhu bawah permukaan laut (bagian atas di setiap panel) dan anomalinya (bagian bawah di setiap panel) di pasifik akuator sejak bulan Maret hingga Juni. Semakin merah, semakin panas suhu permukaan dan anomalinya; sebaliknya, semakin biru, semakin dingin pula suhu permukaan dan anomalinya.

Yang menarik, El Nino - La Nina berjalan mengikuti suatu siklus klimatologis tertentu. Pada siklus normal suhu permukaan laut, kolam panas di Pasifik seolah - olah mengikuti gerak semu matahari dengan jeda sekitar dua bulan. Pada bulan Januari-Februari, kolam panas (warm pool) berada di Pasifik barat hingga Pasifik tengah sedangkan di Pasifik timur terdapat cold tounge.

Suhu permukaan laut di Pasifik timur pada bulan Maret masih hangat sejak Mei semakin dingin, menandakan pola umum munculnya kondisi La Nina. Suhu permukaan laut dan anomalinya di perairan Indonesia sendiri juga hangat sehingga banyak penguapan dan mendukung kondisi basah. Sinyal MJO hingga awal Juni masih lemah dan diprediksi menguat pada pekan kedua juni seiring dengan pergerakannya ke arah timur dari perairan timur Afrika melewati Samudra Hindia. Berkaitan dengan ini, diprediksi terbentuk daerah pembentukan awan dan berarti potensi terjadi hujan di perairan barat Sumatera pada pekan kedua Juni dan selanjutnya akan meluas ke wilayah lainnya pada pekan berikutnya.

BMKG telah memprediksi bahwa La Nina mulai aktif pada bulan Juli dan berpuncak di bulan Desember 2016 atau Januari 2017. Selain itu, kondisi IOD negatif diprediksikan akan terus menguat hingga September. Perpaduan kedua fenomena tersebut menambah pasokan uap air ke wilayah Indonesia, yang pada glirannya akan meningkat potensi curah hujan melebihi nilai rata-rata normalnya (atas normal) pada musim kemarau dan pada musim hujan tahun 2016/2017. 




Ratna Satyaningsih, Andi Eka Sakya  
dan Ardhasena Sopaheluwakan berkarya di 
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)




Sumber : Majalah Sains Indonesia hal : 77, juli 2016 - vol55.