Sunday, April 10, 2016

Parameter Cuaca Dalam Perspektif Pembangunan


Dr. Andi Eka Sakya
Majalah Sains Indonesia Vol. 50 Februari 2016 Hal: 92


COP21 baru saja selesai dengan  disepakatinya Paris Agreement 2015. Para pihak mengakui bahwa hasil kesepakatan ini merupakan terobosan atas kebuntuan dan kemandegan yang terjadi sejak di COP17 di Copenhagen. Para pejabat internasional, termasuk Sekjen PBB Ban Ki-Moon, Presiden Perancis Francois Hollande, Presiden Amerika Barack Obama, dan Menlu Perancis sebagai Ketua COP21 menyebut kesepakatan tersebut sebagai langkah bersejarah. Bagi Perancis, kesepakatan tersebut bisa jadi pengobat duka lara pascaperistiwa pengeboman di Teater Batacian. Kesepakatan meletakkan target upaya semua pihak untuk menahan laju kenaikan suhu global tidak lebih dari 2oC pada tahun 2030. Atau, jika merujuk pada tuntutan negara-negara kepulauan kecil (Small Islands Development States – ISDS) paling tidak 1.5oC di atas angka suhu rerata saat Revolusi Industri.

Upaya menyepakati laju kenaikan ini sudah sejak lama dilakukan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada awal Februari 2007, secara meyakinkan melalui hasil laporan ilmiahnya ke-4, menunjukkan terjadinya pemanasan global akibat akumulasi konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Hal ini mengantarkan pada perolehan hadiah Nobel. Para ahli menengarai fenomena alam pemanasan global yang menyebabkan pergeseran iklim disebabkan oleh aktivitas manusia. 

Melalui bukti-bukti ilmiah yang dihimpun oleh para ahli dari 190 negara melalui IPCC, kenaikan melebih 2oC akan menyebabkan katastropi. Kenaikan tinggi muka laut, yang menenggelamkan pulau-pulau kecil, mengganggu ekosistem iklim dan kehidupan manusia, serta meng-akibatkan timbulnya berbagai bencana hidro-meteorologis seperti banjir, longsor, kekeringan yang panjang, kebakaran hutan, dan hama penyakit. 

Alih-alih pembangunan mampu menciptakan peluang ruang hidup, kemudahan dan kesejahteraan manusia yang lebih baik, justru telah menunjukkan dampak negatifnya jika tidak dikelola dengan seimbang dan selaras de-ngan daya-dukung alam. Laporan riset bersama antara NASA dan ESA menegaskan, melelehnya es secara masif di kutub utara, terutama di pulau-pulau utamanya, jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Bahkan, Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO) menyatakan bahwa kenaikan suhu di tahun 2015 tertinggi. 

Di Indonesia, pelelehan es terjadi pada “selimut” salju di Puncak Jayawijaya. Perlu dicatat, di dunia hanya ada tiga puncak gunung berselimut salju : Tanzania, Peru dan Indonesia. Penelitian Tim BMKG bersama dengan Columbia University (2015) menunjukkan pelelahan terjadi lebih cepat dari 5 tahun sebelumnya (2010).

Riset kecil – kecilan menunjukan pengaruh kegiatan manusia memang menyumbang kurang lebih 30% konsentrasi karbon. Hal ini dibuktikan melalui pengamatan saat Hari Raya Nyepi si Bali 2013 oleh BMKG. Dari lima lokasi yang diamati pada sebelum, sesaat dan sesudah Hari Raya Nyepi, kenaikan sumbangan gas rumah kaca mencapai 30%.

Sejatinya, perhatian manusia terhadap ketidak seimbangan dan eksplorasi pembangunan yang melebihi daya dukung alam – paling tidak dalam 5 dasawarsa terakhir – telah banyak dibahas. Perhatian dan keprihatinan tentang dampak “keserakahan” manusia dalam mengeksplirasi sumber daya alam telah sukses menggeser konsep pembangunan “hitam” menuju ke “hijau” yang lebih ramah terhadap lingkungan.

Di Indonesia, upaya pembangunan melalui eksplorasi alam secara lebih ramah telah lama dilakukan. Perhatian terhadap lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem telah muncul sejak 1970-an dengan hadirnya Kementerian Lingkungan Hidup. Pada tataran operasional, gada penerapan analisis dampak lingkungan (AMDAL) di berbagai sector pembangunan (Peraturan Pemerintah No 27/2012). Melalui kebijakan ini, sebuah rencana kegiatan pembangunan dikaji dari aspek  ekologi, social – ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat, untuk menjaga agar dampak negative terhadap masyarakat tetap terukur dan dapat dihindari sejak dini.
Kenaikan suhu udara rata-rata dalam 100 tahun terakhir

Namun demikian, dorongan untuk menerapkan konsep pembangunan hijau ternyata belum cukup mampu memitigasi dampak negative kegiatan pembangunan. Jebakan ekonomi hijau menjadi termonologi umum untuk menyatakan ketidak-berdayaan konsepsi ini menahan laju “keserakahan” eksploitasi alam. Hal ini juga sering dirujuk kepada hasil dari IPCC tentang kecenderungan naiknya konsentrasi emisi karbon global yang men-trigger pemanasan global dan dampaknya yang terjadi dalam bentuk pergeseran iklim.

Di Indonesia, kecenderungan kenaikan suhu tersebut juga teramati. Pada Gambar di tunjukan hasil scenario kondisi kenaikan suhu udara dalam 100 tahun di berbagai wilayah di Indonesia yang dihitung berdasarkan rujukan tahun 2014 terhadap base line 1980 – 1990. Kenaikan tertinggi terjadi justru di Jawa Barat bagian selatan yang mencapai 1oC. Sementara kenaikan terendah terjadi di wilayah Bali yaitu sekitar 0,14oC.

Menarik pula membandingkan Bali dengan daerah sebelah timurnya yang diketahui tidak begitu banyak hujan, Di Lombok dan Sumbawa kenaikan suhu memang sedikit lebih tinggi, tetapi di NTT ternyata lebih tinggi dari pada kenaikan suhu global, yang dalam 100 tahun “hanya” berkisar 0,3oC sd 0,7oC. Dari gambaran di atas, dapat ditarik kesimpulan : Pertama, kenaikan suhu di Indonesia secara rata-rata lebih tinggi daripada rerata global; Kedua, bahwa kenaikan suhu tersebut dipengaruhi oleh kondisi geografis yang sangat lokal; dan ketiga, terdapat korelasi yang jelas dengan aktivitas penduduk.


0 comments: