http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

Wednesday, October 5, 2016

SIKAP Menjaga Akurasi Prakiraan BMKG



Oleh
Regina Yulia Yasmin dan Andi Eka Sakya



Pada 18 Februari 2014, Gunung Kelud dilanda banjir lahar dingin setelah meletus (13 Februari) sekitar pukul 23.00 WIB. Beberapa alat berat digunakan untuk membersihkan abu turut terseret derasnya arus banjir lahar dingin. Prakiraan hujan lebat di sekitar Gunung Kelud dan dampak banjir lahar dingin disampaikan oleh BMKG sejak satu hari setelah letusan. Informasi disampaikan melalui media elektronik maupun pada pertemuan resmi di tingkat pusat/daerah. Tidak ada korban yang terjadi, walaupun banjir lahar terjadi.

Informasi potensi banjir dikembangkan dari prakiraan hujan lebat yang diolah dari berbagai data (setelah mengumpulkan pengamatan dengan sejumlah peralatan, baik di permukaan maupun berdasarkan penginderaan jauh. Hasil pengolahan, berupa informasi potensi hujan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk probabilitas, waktu, lokasi dan intensitasnya, berdasarkan data bisa dengan cepat dapat diolah dan diperoleh. Informasi peluang dan prakiraan intensitasnya disebarkan dalam waktu 12, 6, 3 dan 1 jam sebelum terjadinya. Semakin pendek jarak waktu prakiraan, semakin besar peluang ketepatannya. 

Peralatan pengamatan cukup banyak. BMKG saja memiliki lebih dari 150 taman alat, yang dilengkapi alat ukur: suhu, kecepatan dan arah angin, tekanan udara, kelembaban, curah hujan, radiasi matahari. Belum lagi ada pengukur suhu kering dan suhu basah. Saat ini terdapat 40 radar cuaca di seluruh Indonesia. Jangan dibandingkan dengan Tiongkok yang mempu-nyai 181, Jepang 20, atau Australia 58. Itu hanya untuk keperluan prakiraan cuaca. Masih ada lagi satelit. Juga balon yang memuat sensor arah dan kecepatan angin, suhu, yang diluncurkan, paling tidak, setiap hari dua kali, pagi dan sore. Di beberapa stasiun pengamatan, dilengkapi pula seismograf dan pengukur medan magnet, bahkan juga geo-magnet untuk mengamati precursor gempa bumi. 

Pentingnya instrumen dan metode observasi dalam membuat prakiraan cuaca, untuk keselamatan hidup, perlindungan aset dan lingkungan, tidak dapat disangkal. Untuk membuat prakiraan cuaca yang efektif dan tepat waktu, sangat penting untuk mendapatkan data akurat dari berbagai parameter cuaca yang tersedia. Hal ini dapat dicapai melalui pemantauan cuaca menggunakan instrumen dan peralatan yang handal dan memiliki penyimpangan pembacaan minimal. Untuk itu diperlukan pemeliharaan rutin dan kalibrasi instrumen meteorologi, standardisasi instrumen meteorologi, perbandingan instrumen internasional dan evaluasi, dan pelatihan instrumen ahli.

Peralatan pengamatan cuaca harus laik operasi dan tepat hasil angka ukurnya. Selisih yang kecil saja, akan sangat berpengaruh pada ketepatan hasil olahan informasinya. Untuk memastikan bahwa nilai terukur (standar) menunjukan nilai yang akurat, setiap kali, secara periodik perlu dilakukan pemeliharaan dan kalibrasi. 

Pemakaian radar cuaca untuk pengamatan awan dan potensi curah hujan, saat ini sudah menjadi jamak. Seiring dengan semakin canggih dan kompleknya peralatan, pemeliharaan dan kalibrasi "terpaksa" harus dilakukan bersamaan. Bagi Indonesia, kebutuhan radar yang dapat "menyatukan dan memadukan" gambaran perkembangan dan dinamika perawanan, tidak saja akan sangat membantu, tetapi sebaliknya diperlukan cukup banyak. Problem pemeliharaan dan kalibrasi ini akan menjadi "tambahan" persoalan yang harus diselesaikan.

Catatan WMO atas hasil survei yang dilakukan oleh Oguzhan Sireci (2011), menunjukan bahwa upaya pemeliharaan preventif menjadi upaya yang umum dilakukan, baik per bulan (19%) maupun setiap 3 bulan (19%). Di lain pihak, melakukan pemeliharaan regular setiap 6 bulan (15%), dan 9% setiap tahunnya. Beberapa lembaga melakukan tiap 2 minggu (8%), bahkan ada pula yang melakukan pemeliharaan dan kalibrasi setiap minggu sekali (7%). Namun demikian, 23% dari pengguna radar cuaca justru tidak pernah melakukan, pemeliharaan pemeliharaan preventif maupun reguler.


Lebih jauh, pemeliharaan dilakukan sendiri (61%) sedangkan 21% diserahkan kepada perusahaan lokal atau pabrikan (4%) (Sireci, WMO,2011). Dalam hal dilakukan sendiri, pada umumnyadukungan diperoleh dari dari pabrikan. persoalan SDM merupakan hal yang biasa ditemui untuk alat-alat yang semakin kompleks. Karena, seperti radar cuaca, misalnya mensyaratkan keahlian dan keterampilan khusus.

Pelaksanaan kalibrasi menjadi permasalahan tersendiri saat dihadapkan pada jumlah peralatan pengamatan yang banyak dan berada di lokasi yang berbeda-beda. Bisa dibayangkan jika alat pengukur curah hujan saja berjumlah lebih dari 5.000 buah tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Belum lagi di tambah dengan 250 buah Automatic Weather Station, 264 seismograph dan lebih dari 120 taman alat yang memuat alat ukur 7 parameter cuaca dan iklim. Pengaturan perlu dilakukan, baik petugasnya, peralatan kalibratornya, periodisitas kalibrasinya, dan pendokumentasiannya agar tetap bisa tertelusur.

Tidak bisa disangkal, negara seperti Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan dipisahkan oleh lautan yang sifatnya rentan terhadap bencana mensyaratkan penempatan peralatan secara tersebar, mulai dari perkotaan, hingga pelosok daerah, pantai maupun pegunungan. Untuk menunjang kegiatan operasional dan pengambilan keputusan strategis maka diperlukan manajemen yang mengelola peralatan dan suku cadang, sumber daya manusia dan pengembangannya. Manajemen peralatan terintegrasi dengan manajemen sumber daya manusia, dan manajemen inventarisasi suku cadang. Untuk mempermudah pengelolaan dan pengambilan data, keseluruhan informasi diintegrasikan dalam Sistem Informasi Kalibrasi dan Pemeliharaan (SIKAP) yang dibangun dengan basis web.

Gagasan yang melandasi dikembangkannya SIKAP ditunjukan untuk : (1) meningkatkan efisiensi dan menekan biaya operasional; (2) menyediakan informasi yang lengkap, teliti dan tepat-waktu untuk keperluan pemeliharaan dan kalibrasi; (3) membantu perencanaan, pelaksanaan dan monitoring proses pemeliharaan dan kalibrasi; (4) menyederhanakan kompleksitas pelaksanaan, serta status pemeliharaan dan kalibrasi, terutama untuk kuantitas yang banyak dan variatifnya peralatan; (5) mempercepat proses pembuatan pelaporan status pelaksanaan pemeliharaan dan kalibrasi; (6) memfasilitasi persiapan dan penyiapan dukungan logistik pelaksanaan pemeliharaan dan kalibrasi; dan (7) membantu pemetaan, perencanaan pemenuhan kebutuhan SDM di sisi jumlah dan kompetensi yang diperlukan serta rewarding SDM.

SIKAP diharapkan memberikan gambar secara real time yang akurat mengenai pemeliharaan dan kalibrasi peralatan, suku cadang serta dukungan sumber daya manusia; mempermudah pengelolaan peralatan dan  suku cadang secara efektif dan efisien, memberikan laporan dashboard yang terintegrasi untuk memudahkan pengambilan keputusan.



Regina Yulia Yasmin adalah peneliti BMKG
Andi Eka Sakya adalah Kepala BMKG



Sumber : Majalah Sains Indonesia Edisi 58 / Oktober 2016 Hal 81





Wednesday, September 7, 2016

BMKG dan BNPB Gelar Indian Ocean Wave Exercise 2016 Untuk Kesiapan Menghadapi Tsunami di Samudera Hindia


Negara-negara di kawasan Samudra Hindia kembali menguji coba sistem peringatan dini tsunami, Rabu (7/9), dengan skenario gempa berkekuatan 9,2 di zona Megathrust Kepulauan Mentawai.
Simulasi yang dinamakan Indian Ocean Wave Tsunami Exercise 2016 (IOWAVE16) merupakan agenda dua tahunan dari negara-negara berpotensi terdampak tsunami di Samudra Hindia sebagai respon atas banyaknya korban jiwa saat tsunami Aceh 26 Desember 2004.
“BMKG hari ini menggelar Indian Ocean Wave Exercise (IOWAVE16), yang merupakan program gladi berkala dua tahunan ICG/IOTWS – Sistem Peringatan Dini dan Mitigasi Tsunami untuk negara-negara di Samudera Hindia. Gladi berkala ini telah dilakukan sejak 2009. Gladi pada tahun 2016 ini sekaligus menjadi salah satu bentuk sumbangsih Indonesia dalam menyambut Hari Kesiapsiagaan Tsunami Dunia (World Tsunami Awareness Day),” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya dalam pres rilisnya pagi ini di Jakarta.
Pada kegiatan IOWAVE16 ini, BMKG sebagai penyedia peringatan dini tsunami (Tsunami Service Provider) akan mendiseminasikan peringatan dini tsunami ke National Tsunami Warning Center (NTWC) di 24 negara Samudera Hindia, untuk diteruskan kepada badan-badan penanggulangan bencana / Disaster Management Offices (DMO).
IOWAVE16 Indonesia yang digelar bersama BNPB pagi ini, dengan bantuan teknis dari UNESCO Jakarta dan dukungan komunikasi strategis dari UN ESCAP serta didukung oleh pemerintah Jepang. Gelar ini akan menjadi masukan berharga bagi proposal perbaikan Tsunami Masterplan Indonesia yaitu penyusunan agenda Indonesia dalam perbaikan sistem penanggulanan bencana Tsunami di kawasan Samudera Hindia, baik melalui Konferensi Tingkat Menteri tentang Penanggulangan Bencana di New Delhi, Konferensi Internasional tentang Tsunami Ready dengan UNESCO, ataupun wahana regional UNESCAP.
Deputi Bidang Geofisika BMKG Masturyono mengatakan, peran Indonesia sebagai salah satu Tsunami Service Providers (TSPs), atau penyedia informasi Tsunami di Samudera Hindia bersama Australia dan India, akan semakin penting dengan ditetapkannya BMKG menjadi tuan rumah dari Indian Ocean Tsunami Information Centre (IOTIC) yang dibentuk sebagai pusat informasi Tsunami, kesiapsiagaan, pendidikan dan penguatan kapasitas di kawasan Samudera Hindia oleh IOC/UNESCO.
Pada tingkat nasional, BMKG dalam perannya sebagai NTWC, akan menyebarkan peringatan dini tsunami kepada para pemangku kepentingan untuk diteruskan kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk memvalidasi rantai informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami mulai dari diseminasi, pemahaman produk dan moda komunikasi, serta melatih kesiapsiagaan daerah dan masyarakat, dalam mengantisipasi Tsunami dan menguji prosedur tetap melalui Tabletop Exercise dan Tsunami Drill”, tambahnya.
Menurut Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Mochammad Riyadi, IOWAVE16 merupakan simulasi ke-4 yang pernah diikuti Indonesia. Gladi IOWAVE16 dilakukan berdasarkan skenario gempabumi berkekuatan 9,2 di barat daya Sumatera yang terjadi pada pukul 10.00 WIB, 7 September 2016. IOWAVE16 digelar melibatkan lebih dari 3.000 orang dari berbagai unsur masyarakat, di Padang, Pangandaran, Pandeglang dan Pacitan. Dengan sekenario kekuatan gempa sebesar itu dianggap paling mungkin berdampak besar bagi Indonesia dan negara-negara yang berhadapan dengan Samudera Hindia.
Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, dengan melakukan pemodelan, kita mengetahui wilayah-wilayah Indonesia yang akan terdampak tsunami seperti pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, NTB dan NTT. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa hampir seluruh pantai negara di Samudera Hindia terdampak tsunami meskipun dengan ketinggian bervariasi. Sejumlah wilayah yang berpotensi terdampak tsunami merusak adalah sepanjang pantai barat Sumatera, Sri Lanka, India bagian selatan, Maladewa, dan Madagaskar bagian tenggara.
Hingga kini, salah satu wilayah yang dikhawatirkan akan terjadi gempa besar adalah Kepulaun Mentawai di Sumatera Barat. Pelatihan rutin IOWAVE sangat penting dan harus terus dilakukan, mengingat kejadian tsunami besar dan merusak relatif jarang, tetapi jika terjadi potensi korban jiwa yang ditimbulkan bisa sangat besar.***




Friday, September 2, 2016

Waspadai Banjir Menjelang Akhir Tahun


Sebagian wilayah Indonesia semakin sering diguyur hujan deras sejak Agustus. Masyarakat perlu waspada terhadap banjir dan tanah longsor, seiring meningkatnya intensitas dan curah hujan menjelang akhir tahun.
Sejumlah Daerah di Indonesia rawan mengalami bencana banjir dan tanah longsor saat musim hujan, ketika intensitas dan curah hujan melebihi ambang normal. BMKG memprakirakan hujan deras akan semakin sering mengguyur sebagian wilayah Tanah Air, hingga awal 2017
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengatakan sejumlah wilayah di Indonesia mengalami awal musim hujan periode 2016/2017 pada Agustus-November. “Hujan yang terus mengguyur sejumlah wilayah, bahkan sejak memasuki 2016, mempertegas terjadinya kemarau basah tahun ini. Wilayah tersebut, sampai Agustus pun belum mengalami kemarau, meskipun pada periode itu adalah musim kemarau. Di sisi lain, Agustus hingga November sebagian besar wilayah Indonesia sudah masuk awal musim hujan 2016/2017. Melihat tren dan data dari berbagai pengamatan, kami mengimbau masyarakat untuk mewaspadai potensi bencana banjir dan longsor,” kata Andi kepada Majalah Sains Indonesia. 
Andi menjelaskan, tahun ini kondisi iklim di Indonesia akan dipengaruhi oleh fenomena La Nina, yang muncul mengikuti peristiwa El Nino kuat di 2015.  Saat dilanda El Nino, Indonesia mengalami musim kemarau yang lebih panjang. Kondisi itu berdampak pada kekeringan di sejumlah daerah di Tanah Air dan meningkatnya sebaran titik panas (hot spot) di Sumatra dan Kalimantan, sehingga kebakaran hutan/lahan dan bencana asap terjadi cukup parah tahun lalu. Sedangkan, La Nina akan mempengaruhi terjadinya hujan sepanjang musim kemarau sehingga dikenal sebagai kemarau basah (wet spell). 
Saat terjadi La Nina juga akan muncul fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) negatif, yang memengaruhi kondisi suhu muka laut di sebagian wilayah Indonesia, seperti di bagian barat Sumatra, lebih hangat dari suhu muka laut di Pantai Timur Afrika. Kondisi ini berpengaruh pada meningkatnya pasokan uap air sehingga menyebabkan curah hujan meningkat, teruta-ma di wilayah Indonesia bagian barat. Hujan akan terjadi dengan intensitas dan curah yang tinggi. 
“Melihat data yang ada, dalam 50 tahun terakhir, El Nino kuat akan diikuti munculnya La Nina. Prakiraannya, tahun ini La Nina muncul Juni-September, dengan kategori lemah. Sebagian lembaga internasional juga ada yang memprediksi La Nina muncul Agustus-Oktober. Kami ingin mengingatkan lagi, dengan kondisi iklim ini, hujan berpeluang sering terjadi dengan sifat di atas normal (curah hujan tinggi). Dengan menyampaikan peringatan dini, kami berharap masyarakat dan semua instansi terutama peme-rintah daerah lebih siap mengantisipasi potensi bencana,” kata Andi.           
Respons Minimalkan Bencana 
Kepala Bidang Informasi Iklim BMKG, Evi Lutfiati, menjelaskan kondisi IOD (negatif) diprediksi menguat pada Juli hingga September. Kondisi ini memicu bertambahnya potensi hujan di atas normal pada periode musim kemarau 2016, terutama pada Juli, Agustus, dan September. Wilayah yang mengalami itu antara lain Sumatra Utara bagian barat, Sumatra Barat bagian barat, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa bagian barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Papua. 
"Sampai September, intensitas La Nina diprediksi masih lemah. Tapi, fenomena yang mempengaruhi terjadinya curah hujan tinggi ini akan berlanjut dan berpeluang menguat sampai 2017. Agustus ini, sebagian sumatra, terutama Riau intensitas hujannya rendah dan sifat (curah) hujan juga di bawah normal, namun mulai September di prakirakan hujan akan meningkat. Meskipun berpeluang hujan meningkat, tetap perlu diwaspadai untuk munculnya  hot spot di Sumatra. Sedangkan, untuk wilayah yang mulai masuk musim hujan dan akan semakin sering di guyur hujan setidaknya sampai awal 2017, agar waspada bencana banjir dan tanah longsor", kata Evi kepada Majalah Sains Indonesia.

Andi Eka Sakya menambahkan, dengan informasi dan peringatan dini yang disampaikan diharapkan dapat meminimalkan potensi bencana yang terjadi. Menurut Andi, kini beberapa instansi (kementerian) dan bahkan Pemda sudah sigap menanggapi informasi yang dirilis BMKG. Bahkan, sejumlah menteri dan gubernur justru berinisiatif sendiri meminta data kepada BMKG, sebagai acuan mengambil langkah cepat dan kebijakan menyikapi kondisi iklim saat ini.
"Misalnya, di Riau. Sekarang ini Pemda sudah lebih aktif bertanya dan segera melakukan langkah antisipasi untuk mengatasi hot spot. Kita lihat, tahun ini hot spot tidak separah sebelumnya. Contoh lain Jawa Tengah, ketika gubernur cepat merespon informasi terkait longsor di Karanganyar. Pada waktu itu Pak Ganjar (Gubernur Jawa Tengah) langsung meminta penduduk agar direlokasi, dan semua mengikuti imbauan tersebut sehingga ketika terjadi bencana tidak ada korban. Jadi, secepat apapun informasi dan peringatan dini yang di sampaikan, tidak akan ada artinya, bila tidak di respon dan tidak disikapi dengan kebijakan tepat. Yang harus merespon bukan hanya pengambil kebijakan, tetapi juga masyarakat. Sebab, kebijakan yang dimaksud untuk meminimalkan bencana pun tidak akan ada manfaatnya bila tidak dilakukan di lapangan," katanya.
Andi juga menuturkan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bahkan mendapat penghargaan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), karena kesigapan mengantisipasi bencana tanah longsor di karanganyar. Namun sayang, keberhasilan itu tidak serta merta membuat masyarakat memahami pentingnya informasi dan peringatan dini. Misalnya, untuk kejadian longsor di di Purworejo, disayangkan, karena imbauan gibernur agar masyarakat di relokasi tidak didengar sehingga bencana menimbulkan banyak korban. 
"Antisipasi menanggapi bencana memang masih perlu ditingkatkan, agar masyarakat lebih memahami ancaman dan potensi bencana yang berbeda-beda di setiap daerah," kata Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.


Henny Ariesta Diana


Sumber : Majalah Sains Indonesia Edisi 57, September 2016, Hal : 51-53




Fenomena Gelombang Tinggi dan Banjir Rob di Pesisir Indonesia


 Oleh : Andri Ramdhani, Andi Eka Sakya, 
Roni Kurniawan, dan Bayu Edo Pratama



Gelombang pasang air laut 7–10 Juni 2016 menyebabkan sejumlah wilayah pesisir Indonesia mengalami banjir rob. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan sejumlah wilayah pesisir mengalami banjir rob akibat laut pasang, me-nimbulkan kerugian dan gangguan terhadap aktivitas masyarakat di wilayah pesisir barat Sumatra, pantai utara (Pantura) Jawa, pantai selatan Jawa hingga Bali.

Terdapat beberapa istilah di masyarakat dalam menyebutkan banjir pantai ini, di antaranya adalah banjir rob, banjir pesisir, banjir pantai dan gelombang pasang. World Meteorological Organization (WMO) menamakan fenomena ini dengan sebutan coastal inundation yaitu banjir atau genangan di pantai akibat faktor meteorologi, hidrologi, dan oseanografi. 

Masyakarat pesisir di Pantura lebih mengenal fenomena ini dengan sebutan banjir rob. Istilah ini digunakan untuk membedakan banjir yang berasal dari laut dengan banjir dari luapan sungai akibat peningkatan adanya curah hujan. Berbeda halnya dengan masyarakat di pesisir barat Sumatra, selatan Jawa hingga Nusa Teng-gara Timur (NTT), mereka menyebutnya seba-gai gelombang pasang. 

Kejadian ini sangat menarik untuk dikaji sebagai evaluasi dan mitigasi ke depan. Pada periode tersebut juga terjadi peningkatan tinggi muka air laut yang menggenang beberapa pantai di Pantura dan pantai selatan Jawa. Analisis awal menunjukkan bahwa saat itu merupakan awal bulan baru yaitu posisi matahari, bulan, dan bumi berada dalam satu garis lurus. Kondisi konjunsi ini  menyebabkan pasang naik yang sangat tinggi dan pasang surut yang sangat rendah. Gejala alam seperti ini, pasang naik atau turun pada saat terjadinya konjungsi disebut spring tide. Kejadian ini merupakan siklus bulan-an yang normal terjadi setiap bulannya, walaupun tidak setiap saat terjadi konjungsi. 

Kenaikan tinggi muka air laut yang terajdi pada tanggal 7 – 10 Juni 2016 dapat dilihat dengan adanya anomali positif tinggi permukaan air laut (Sea Surface Height, SSH) di bebe-rapa wilayah perairan Indonesia. Variasi kenaikannya sekitar 20 – 30 cm, antara lain di Perairan barat Sumatra, Selat Malaka bagian tengah, Perairan Pantura Jawa, Perairan selatan Jawa, dan Perairan selatan Bali.

Time-series TML di pantai Utara dan selatan Pulau Lombok dan Sumbawa

Tren kenaikan SSH ini diduga juga berhubungan dengan ENSO, El Nino dan La Nina yang mempengaruhi karakteristik tinggi muka laut (TML). Berdasarkan time-series TML dari tahun 1993 sampai 2008 terlihat bahwa pada saat terjadi El Nino, TML akan terdepresi sebesar 20 cm di bawah normal. Sebaiknya, pada periode La Nina akan ter-elevasi sebesar 10-20 cm (Sofian, 2008).

Kenaikan TML saat transisi El Nino dan La Nina disebabkan penguatan trade wind di Samudra Pasifik yang membawa masa air dari Pasifik Timur di sekitar Peru ke daerah Perairan Indonesia yang ditandai dengan perpindahan kolam air hangat (warm pool) dari Pasifik Tengah ke Perairan Indonesia. Kondisi ini menyebabkan naiknya tinggi muka air laut di perairan Indonesia. Kombinasi fenomena astronomis dan meteorologis menjadi pemicu pasang tinggi dengan anomaly positif tinggi muka air laut di beberapa perairan Indonesia dan menyebabkan bencana banjir rob pada 7-10 Juni 2016. Pada periode itu juga terjadi gelombang pasang di pesisir pantai selatan Jawa.

Angin Permukaan tanggal 7 Juni 2016 jam 12 UTC
(BMKG, http://peta-maritim.bmkg.go.id/2.0/peta_interaktif.php).

Dari pola tekanan udara terlihat adanya pusat tekanan tinggi sub tropis (mascarene high) di sekitar 300 LS Samudra Hindia di sebelah Barat Australia. Fenomena ini terjadi bulan Juni – September. Pusat tekanan tinggi mencapai 1029 Hpa terpantau sejak 7 Juni 2016 dengan tren menguat dan cenderung bergerak ke arah timur di sebelah selatan jawa. Di sekitarnya terpantau angina permukaan 25-30 knot. Sedangkan, kecepatan angina di selatan jawa saat itu di dominasi angin timur – tenggara dengan kecepatan 5-10 knot.

Tinggi Gelombang signifikan tanggal 8 Juni 2016
(model gelombang Ina-Waves BMKG,
http://peta-maritim.bmkg.go.id/2.0/peta_interaktif.php).

Kemunculan mascarene high di sebelah barat Australia memicu angina kencang dan tinggi gelombang 6-8 m. Simulasi model numerik Ina-Waves BMKG 8 Juni 2016 menunjukan tinggi gelombang signifikasi di pesisir selatan Jawa bervariasi antara 4-5 meter. Terlebih lagi, terlihat bahwa gelombang ekstrem yang terjadi di selatan Jawa tersebut lebih didominasi oleh alun atau swell dibandingkan dengan ombak atau windsea.

Tinggi gelombang laut yang bervariasi di picu oleh mascarane high dan bersuperposisi dengan pasang tertinggi serta anomaly tinggi muka laut hingga 30cm memicu terjadinya bencana storm tide di pesisir pantai selatan jawa, Bali dan NTB. Kondisi ini berdampak lebih buruk bagi masyarakat pesisir selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB), dibandingkan banjir rob di pesisir utara jawa.

Berdasarkan hasil simulasi numerik tinggi gelombang, BMKG merilis peringatan dini gelombang tinggi dan banjir rob sejak jauh hari. Kewaspadaan dini diperlukan untuk memitigasi kerugian dan korban yang mungkin terjadi akibat “bencana” gelombang tinggi, tidak saja bagi nelayan pencarian ikan, tetapi juga kegiatan wisata pantai, distribusi logistic antarpulau, dan transportasi laut.

Andri Ramdhani, Roni Kurniawan,
dan Bayu Edo Pratama adalah peneliti BMKG.
Andi Eka Sakya, adalah Kepala BMKG.



Sumber : Majalah Sains Indonesia Edisi 57, September 2016, Hal: 67-69





Monday, August 15, 2016

Presiden Anugerahkan Tanda Kehormatan kepada Sembilan Tokoh



JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo memberikan tanda kehormatan kepada sejumlah tokoh yang dianggap sudah banyak berjasa di Indonesia.
Pemberian tanda kehormatan berlangsung di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/8/2016). Penghargaan ini diberikan sekaligus dalam rangka memperingati HUT ke-71 RI.
Berikut adalah nama-nama penerima tanda kehormatan:
1.   Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana
Diberikan kepada satu orang, yaitu atas nama:
Jenderal Polisi (Purn) Badrodin Haiti
Penghargaan ini diberikan atas usulan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selama berkarir di kepolisian hingga akhirnya menjadi Kapolri, Badrodin dianggap berjasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara.

2. Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama
Diberikan kepada 4 orang, yaitu atas nama:
a. Saifudin Aswari Rivai
Bupati Lahat Provinsi Sumatera selatan (periode tahun 2008-2013; periode tahun 2013-2018).
Penghargaan diberikan atas usulan dari Kementerian Sosial RI. Saifudin dianggap berjasa antara lain dalam bidang Sosial Kemanusiaan. Dengan program listrik masuk desa 99 persen wilayah desa di kab Lahat terjangkau oleh listrik.
b. H.M. Nurdin Abdullah
Bupati Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan (periode tahun 2008-2013; dan periode tahun 2013-2018).
Penghargaan diberikan atas usulan dari Kementerian Koperasi dan UMKM. Nurdin antara lain berjasa besar dalam bidang Koperasi, Usaha Mikro Kecil, dan Menengah dengan menata pedagang kaki lima di Pantai Seruni dan Pantai Kamalaka.
c. Hasto Wardoyo
Bupati Kulon Progo, Provinsi DIY (Periode tahun 2011-2016).
Penghargaan diberikan atas usulan dari Kementerian Koperasi dan UMKM. Ia antara lain berjasa besar dalam bidang Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah dengan motto Bela dan Beli Kulon Progo.
d. Andi Eka Sakya
Kepala BMKG (Tahun 2013 s/d Sekarang).
Atas usulan dari BMKG, antara lain berjasa besar dalam bidang pelayanan BMKG dengan menggagas open data policy.

3. Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma
Diberikan kepada empat orang, yaitu atas nama:
a. Mangkunegara VI (Alm Raden Mas Soerjo Soeparto)
Atas usulan dari Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan. Ia antara lain berjasa besar dalam Pelestarian Budaya Jawa, Musik dan Drama Tradisional. 
b. Taufik Ismail
Atas usulan dari Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan, antara lain berjasa besar dalam Sastra dan Penyair.
c. Martha Tilaar
Atas usulan dari Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan, antara lain berjasa besar dalam Pelestarian Jamu dan Herbal.
d. Achadiati Ikram
Atas usulan dari Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan, antara lain berjasa besar dalam bidang Filologi.

Tahapan seleksi
Penganugerahan tanda kehormatan tersebut, telah melalui beberapa tahapan dengan memperhatikan usulan dari Lembaga Tinggi Negara, Kementerian, Lembaga Negara Non Kementerian serta instansi terkait lainnya.

Pemberian penghargaan juga sudah melalui Hasil sidang Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang telah memberikan pertimbangan kepada Presiden RI.


Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2016/08/15/13070141/presiden.anugerahkan.tanda.kehormatan.kepada.sembilan.tokoh , Penulis : Ihsanuddin, Editor: Bayu Galih, Senin 15 Agustus 2016 , 13:07 WIB

Friday, August 5, 2016

Gangguan Cuaca Bernama MJO


Oleh : Siswanto dan Andi Eka Sakya*



Perangi cuaca pada Juni 2016 terasa galau. Laman BMKG merilis catatan berbagai peristiwa ekstrim mulai awal Mei 2016. Tercatat hujan merata sangat lebat di Pekanbaru. Puting beliung di Aceh terjadi seminggu, berbarengan dengan hujan sangat lebat menyebabkan banjir bandang di Sibolangit. Bencana serupa terjadi di bangka, mengakibatkan 50 rumah rusak parah. Juni - juli, perilaku cuaca belum juga kondusif. Hujan lebat terjadi di Lampung, Sumatera Barat, Purworejo - Jawa Tengah, dan Solok.

Orang mengaitkan kejadian itu dengan La-Nina. Padahal, Indeks ENSO masih positif pada Mei dan pertengahan Juni, indikasi proses peluruhan El-Nino  masih berlangsung menuju netral. Akhir Juni, nilainya mencapai - 0.51, menandai fase netral. Maknanya, curah hujan tinggi tak terkait dengan La-Nina.

BMKG beberapa menampilkan fakta, saat suhu muka laut di Indonesia masih cukup tinggi, angin timuran dari Australia masih sangat lemah dan teramati fenomena mendinginnya suhu muka laut di Afrika Timur, berasosiasi dengan tumbuhnya Dipole Mode Negative (Indian Ocean Dipole - IOD) atau sering disebut pula Western La-Nina. Indeks IOD mulai negatif dan di perkirakan mencapai puncaknya pada Juli. Kontribusi IOD negatif "menahan" uap air yang disebabkan oleh suhu muka laut dan menyumbang potensi hujan.

Mengapa hujan di musim kemaraubegitu tinggi?  bahkan, di Sumbar mencapai 314 mm/24 jam (17 Juni). Nilai intensitas hujan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Para meteorolog menyepakati, gangguan cuaca ekstrim tersebut di picu oleh gejala MJO (Madden Julian Oscillation).

MJO merupakan fenomena semi-musiman konveksi skala sinoptik berupa pumpunan massa uap air berskala luas dan bergerak sepanjang bujur dari Samudera Hindia Barat hingga Samudera Pasifik Timur. Diperkenalkan pertama kali oleh Roland Madden dan Paul Julian [Peneliti American National Center for Atmospheric Research (NCAR)], MJO bersiklus 30-90 hari.

Lintasan jalar dan lama fase aktif MJO pada daerah bujur tertentu bisa lebih cepat ataupun lebih lambat. MJO yang aktif pada musim kemarau ketika memasuki wilayah Indonesia akan terpropagasi zig-zag  dengan orientasi arah Barat Daya-Timur Laut, karena pengaruh perambatan gelombang Rossby pada wilayah tropis dan interaksinya dengan monsun Australia.

Posisi lintas jalar dan kekuatan fase gelombang MJO lazim di sederhanakan oleh indeks dalam bentuk kuadran (lihat gambar). Lintas jalar bergerak berlawanan arah jarum jam dalam kwadran menggambarkan pergerakan dari barat ke timur di sekitar ekuator tropis. Semakin jauh lintasan dari lingkar dalam kuadran maka MJO terindikasi semakin kuat. Kuadran 3 dan 4 menggambarkan wilayah pergerakan massa uap air di wilayah Indonesia, terutama sebelah barat daya dan tengah. Sementara pada kuadran 5 lebih berpengaruh di wilayah Indonesia bagian timur laut. Perlu dicatat, pusat gelombang MJO pada suatu lokasi geografis sering disertai penguatan konveksi pada daerah lain, sehingga kadang tampak kejadian hujan ekstrem mendahului lintas jalar MJO.

Perkembangan Indeks MJO dari 31 Mei sd 9 juli 2016
(sumber : http//www.bom.gov.au/climate/mjo/).
Suhu permukaan laut Indonesia memang masih lebih hangat, dibanding rerata klimatologisnya dalam 30 tahun terakhir, pada bulan-bulan ini memicu kelimpahan pasokan uap air ekstra lebih banyak dari hasil penguapan lautan. Interaksinya dengan sirkulasi angin serta pengaruh topografi daratan/pulau dapat membuat atmosfer di atasnya mudah berawan sehingga lapisan lebih tinggi (disebut awan supercell), terlebih saat fase aktif MJO. Maka, peluang munculnya  cuaca ekstrim dan hujan badai akan menjadi lebih besar. Hal inilah penyebab hujan sangat lebat di Indonesia.

MJO berkorelasi kuat dengan hujan ekstrem di wilayah Indonesia. Banjir Jakarta 2013, terdeteksi radar cuaca BMKG dan radar Serpong BPPT, dipicu oleh hujan sangat lebat yang bergerak dari pesisir ke daratan Jakarta. Curah hujan menjadi ekstrem akibat pertemuan massa udara (konvergensi) yang kuat di sekitar Jakarta akibat kuatnya aliran monsun lintas ekuator dan seruak dingin (cold surge), lalu teramplifikasi oleh fase aktif MJO pada posisi kuadran 4.

Kini, prediksi penjalaran MJO telah mengalami kemajuan pesat. Hal ini membantu fasilitasi peringatan dini adanya potensi hujan dan dampak bencananya. Pada kejadian curah hujan ekstrim Juni, BMKG telah me-release peringatan dini terkait dengan potensi hujan ekstrim di beberapa lokasi, termasuk di Jawa Tengah.

Informasi tersebut dikembangkan dari sistem prediksi cuaca numerik yang menunjukan kecenderungan penjalaran MJO saat bergerak memasuki wilayah Benua Maritim dan berkolerasi erat dengan potensi pertumbuhan awan konvektif dan hujan yang sangat lebat. Peningkatan aktifitas konfeksi yang massif ditandai dengan besarnya radiasi gelombang panjang yang bernilai negatif.

Peta spasial rerata 10-harian radiasi balik gelombang panjang (OLR) dari 10 Juni - 9 Juli 2016 (Sumber : CPC/NCEP/NOAA). Poligon garis biru menandai fase aktif MJO (negatif OLR) di wilayah Benua Maritim Indonesia yang berkaitan dengan proses konvektifitas atmosfer. Kondisi sebaliknya berlaku pada daerah dengan poligon garis merah.

























Gambar diatas menunjukan pergerakan awan konvektif akibat gangguan cuaca MJO di wilayah Indonesia, Warna biru mengindikasikan kuatnya awan konvektif yang berkorelasi dengan hujan intensitas sedang sampai dengan lebat yang menjalar sesuai "dorongan" MJO yang bergerak memasuki Benua Maritim Indonesia.

Intensitas MJO 18 Juni mencapai 17.7 pada fase 3 yang mendorong terjadinya hujan sangat lebat di beberapa daerah di Indonesia bagian Barat, serta dampak longsor. Hujan ekstrem terjadi justrupada musim yang lazimnya kering. Banjir dan longsor terjadi di puncak musim kemarau.
*Penulis adalah peneliti dan Kepala BMKG



Thursday, June 30, 2016

La Nina: Peluang Baik atau Bencana?







Ratna Satyaningsih, Andi Eka Sakya dan 
Ardhasena Sopaheluwakan -



Yang menarik, El Nino – La Nina berjalan mengikuti suatu siklus klimatologis tertentu. Pada siklus normal suhu permukaan laut, kolam panas di Pasifik seolah-olah mengikuti gerak semu matahari dengan jeda sekitar dua bulan.

Pasca El Nino 2015/2016, masyarakat Indonesia dihadapkan pada kegalauan baru. Terutama terkait dengan musim. Hari-hari pada bulan Mei dan Juni, mestinya hujan sudah jarang. Alih-alih hujan berhenti, berbagai wilayah justru banyak dilanda banjir bandang, puting beliung dan longsor. 
Di Langkat, banjir bandang terjadi. Kejadian serupa juga melanda Sumatra Barat dan Riau. Jayapura pun demikian. Polewali dilanda pu-ting beliung yang memorak porandakan rumah penduduk. Apa yang terjadi? Apakah tak ada kemarau  di tahun ini? Ekstrimitas iklim  apa yang menyebabkan hujan tiada mau berhenti. Februari, BMKG telah memprakirakan bahwa musim kemarau di Indonesia secara rerata akan terlambat dua bulanan. Sampai akhir Mei 2016, baru 31.9% wilayah yang memasuki musim kemarau. Indeks ENSO masih 0.3, walaupun nilanya terus meluruh dan awal Juni tercatat -0.4. Nilai indeks normal semestinya tidak membuat kemarau mundur  lama. 
Dampak El Nino 2015 terbilang besar. Dalam 3 bulan, hampir Rp 200 triliun (0,2% PDB) hilang. Kegagalan panen, berhentinya aktivitas transportasi, belum lagi “beban kerugian jangka panjang” akibat terhirupnya asap ke dalam paru-paru. Sebagai perbandingan, di Thailand, El Nino membebani kerugian sekitar 0.15 % PDB. 
Di ujung lain ekstrimitas, La Nina tak hanya menimbulkan dampak ekonomis yang negatif, tapi juga positif. Di sektor pertanian, misalnya, curah hujan yang lebih tinggi daripada normalnya di musim kemarau dapat meningkatkan kasus banjir dan serangan hama dan penyakit di daerah yang rawan banjir. Sebaliknya, di lahan tadah hujan dapat meningkatkan luas panen. 

Kejadian El Nino yang diiringi La Nina berdampak pada produksi kopi. Sebagai produsen kopi terbesar keempat di dunia, besar kemungkinan berdampak positif terhadap harga kopi Indonesia di pasar dunia. Di sektor per-ikanan, La Nina mendatangkan lebih banyak ikan tuna di perairan Indonesia akibat massa air hangat yang masuk dari Pasifik Barat mencapai perairan Makassar dan Banda. Di sisi lain, perlu diantisipasi gelombang tinggi saat La Nina. 

Ekstrimitas iklim yang terjad dan berdampak bagi Indonesia, bukan hanya El Nino, tetapi juga La Nina - yang secara fenomenologis berdampak pada tambahan hujan. Sebagai negara khatulistiwa, ternyata indonesia dikelilingi oleh berbagai faktor iklim. Di sebelah Timur, agak jauh mendekati Amerika Selatan, El Nino dan La Nina. Kolam hangat dan dingin di Pasifik Timur dan Tengah yang dampaknya berpengaruh pada pasokan uap air di Indonesia. Di sebelah  Timur Afrika, ada Indian Ocean Dipole (IOD) atau Dipole Mode. Pada IOD positif, akan berdampak berkurangnya pasokan uap air ke Indonesia. Sebaliknya saat negatif terjadi curahan hujan berlebih. Kedua fenomena di atas, dapat dilihat berlebih. Kedua fenomena di atas, dapat dilihat dari suhu permukaan laut global, paling tidak di khatulistiwa memanjang dari afrika hingga Amerika Selatan.

Faktor iklim lain adalah angin monsun Asia dan Australia. Kedua pole angin ini bergerak dan berubah dipengaruhi oleh posisi matahari. Pola ini berpengaruh pada hampir 70% wilayah Indonesia. Namun demikian, pola monsun ini terpengaruh pula oleh ekstrimitas yang muncul saat terjadi El Nino atau La Nina dan IOD positif atau negatif.

Selain itu, juga dipengaruhi "gangguan cuaca sub-seasonal" seperti Madden-Julian Oscillation (MJO). MJO ini berupa aglomerasi pemampatan dan perenggangan udara yang bergerak dari Samudra Hindia menuju ke timur  ke arah Pasifik. Jika MJO melewati Indonesia , maka akan terjadi hujan sangat lebat seperti dialami Pangkalpinang beberapa saat lalu, atau banjir  Jakarta awal 2013. Badai tropis, walau tidak lewat Indonesia terutama di khatulistiwa, dampaknya juga pada intensitas hujan tinggi. Demikian pula, seruak dingin baik dari Utara maupun selatan. Berbeda dengan ekstrimitas iklim yang memakan waktu agak panjang (lebih dari 1 bulan), dampak gangguan cuaca sub-seasonal  paling lama  1 minggu.

Perkembangan teknologi sekarang telah memungkinkan berbagai peristiwa gejala alam terkait dengan ekstrimitas iklim dan cuaca terprediksi secara baik. ENSO, misalnya, berbagai lembaga dunia telah mengembangkan tool  untuk memprediksinya. El Nino dan La Nina, misalnya, model matematis dari berbagai lembaga meteorologi dunia telah memprakirakannya. Simulasi model matematika-fisis suhu permukaan laut secara global disimulasikan di Pusat Prakiraan Iklim dan Lingkungan (National Center for Environmental Prediction, NCEP) di bawah NOAA (National Oceanographic and Atmospheric Administration) di Maryland, Amerika. Hasilnya berupa gambaran perkembangan suhu permukaan laut secara global 6 (enam) bulan ke depan.

Prediksi teoretis tersebut tetap saja perlu dijustifikasi dengan pengamatan riil. Antara lain pengamatan ENSO oleh NOAA dan JMA (Japan Meteorological Administration) di Pasifik Timur dan Tengah. Namanya Tropical Atmospheric Ocean (TAO), berupa buoy yang terpasang di Samudra Pasifik. Mulai dipasang 1985, data ENSO diambil dari setidaknya 70 moorings. Tahun 2000, TAO berubah menjadi TAO/TRITON Array sebagai apresiasi terhadap sumbangan Triangle Trans Ocean Buoy Network (TRITON) Moorings yang dioperasikan JAMSTEC di sepanjang 156o BT. 

Data dari TAO/TRITON Array memberikan gambaran perkembangan suhu muka laut di lokasi Pasifik dan di kedalaman laut hingga 500 meter di bawah laut. Data dapat diakses secara terbuka dan di gunakan sebagai rujukan berbagai lembaga meteorologi dunia, termasuk BMKG. Hal ini juga menjelaskan mengapa setiap lembaga meteorologi dunia mempunyai prediksi trend kemungkinan terjadinya El Nino atau La Nina yang berbeda. Namun demikian, untuk memastikan "indeks" ENSO yang benar, semua lembaga merajuk pada hasil pengamatan TAO/TRITON tersebut. Pada gambar menunjukkan hasil pengamatan perkembangan suhu muka laut dan suhu di bawah laut pada periode tertentu.

Evolusi suhu bawah permukaan laut (bagian atas di setiap panel) dan anomalinya (bagian bawah di setiap panel) di pasifik akuator sejak bulan Maret hingga Juni. Semakin merah, semakin panas suhu permukaan dan anomalinya; sebaliknya, semakin biru, semakin dingin pula suhu permukaan dan anomalinya.

Yang menarik, El Nino - La Nina berjalan mengikuti suatu siklus klimatologis tertentu. Pada siklus normal suhu permukaan laut, kolam panas di Pasifik seolah - olah mengikuti gerak semu matahari dengan jeda sekitar dua bulan. Pada bulan Januari-Februari, kolam panas (warm pool) berada di Pasifik barat hingga Pasifik tengah sedangkan di Pasifik timur terdapat cold tounge.

Suhu permukaan laut di Pasifik timur pada bulan Maret masih hangat sejak Mei semakin dingin, menandakan pola umum munculnya kondisi La Nina. Suhu permukaan laut dan anomalinya di perairan Indonesia sendiri juga hangat sehingga banyak penguapan dan mendukung kondisi basah. Sinyal MJO hingga awal Juni masih lemah dan diprediksi menguat pada pekan kedua juni seiring dengan pergerakannya ke arah timur dari perairan timur Afrika melewati Samudra Hindia. Berkaitan dengan ini, diprediksi terbentuk daerah pembentukan awan dan berarti potensi terjadi hujan di perairan barat Sumatera pada pekan kedua Juni dan selanjutnya akan meluas ke wilayah lainnya pada pekan berikutnya.

BMKG telah memprediksi bahwa La Nina mulai aktif pada bulan Juli dan berpuncak di bulan Desember 2016 atau Januari 2017. Selain itu, kondisi IOD negatif diprediksikan akan terus menguat hingga September. Perpaduan kedua fenomena tersebut menambah pasokan uap air ke wilayah Indonesia, yang pada glirannya akan meningkat potensi curah hujan melebihi nilai rata-rata normalnya (atas normal) pada musim kemarau dan pada musim hujan tahun 2016/2017. 




Ratna Satyaningsih, Andi Eka Sakya  
dan Ardhasena Sopaheluwakan berkarya di 
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)




Sumber : Majalah Sains Indonesia hal : 77, juli 2016 - vol55.


Wednesday, May 25, 2016

BMKG Gandeng NOAA-USA Perkuat SDM Pelayanan Iklim


Manado, 13/5 (AntaraSulut) - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menggandeng National Oceanic and Admospheric Administration (NOAA-USA) untuk memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang kelautan untuk meningkatkan pelayanan iklim.

"Workshop ini sudah tahun ke-11 kita lakukan dengan harapan mampu meningkatkan kualitas SDM di Indonesia khususnya di Manado juga dalam pelayanan iklim dengan memanfaatkan observasi laut," kata Kepala BMKG Dr Andi Eka Sakya di Manado, Jumat.

Dia mengatakan kegiatan workshop internasional iklim maritim ini merupakan bagian dari rangkaian implementasi kerjasama antara BMKG dan NOAA yang telah ditandatangani pada tanggal 16 Januari 2016.

Kegiatan ini akan berlangsung selama lima hari dari tanggal 13-17 Mei 2016 dengan melibatkan 30 orang peserta dan universitas perwakilan dan stasiun BMKG di berbagai daerah.

"Kami memilih Manado sebagai tempat pertemuan ke-11 kali ini, karena daerah ini sangat unik dengan wilayah laut yang sangat menarik apalagi menjadi salah satu tempat segitiga terumbu karang yang telah digagas sejak 2009 dalam World Ocean Conference (WOC)," jelasnya.

Dia menjelaskan sebagai negara kepulauan yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, wilayah Indonesia menjadi salah satu pusat kendali sistem iklim dunia.

Untuk mengantisipasi atau menekan dampak yang ditimbulkan fenomena kelautan dengan meprediksi fenomena El Nino Souther Oscillation (ENSO).

Workshop yang akan berlangsung hingga 17 Mei mendatang itu menghadirkan pembicara dari NOAA/OCO Dr Sidney Thurston, Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado Revol Gerung, dan Kepala BMKG Dr Andi Eka Sakya.***1***Budi Suyanto


Sumber : http://www.antarasulut.com/berita/29911/bmkg-gandeng-noaa-usa-perkuat-sdm-pelayanan-iklim , Pewarta: Editor: Guido Merung , Jumat, 13 Mei 2016 17:00 WIB