Monday, November 30, 2015

"Years of the Maritime Continent" untuk Perbaikan Prakiraan Klimatologi



JAKARTA, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menjadi tuan rumah lokakarya perencanaan pelaksanaan Years of the Maritime Continent (YMC) 2017-2019, Selasa (24/11) hingga Kamis (26/11). YMC merupakan kerja sama riset internasional untuk mempelajari interaksi laut dan atmosfer di benua maritim. Salah satu hasil positifnya adalah bisa memperbaiki prakiraan cuaca dan iklim di area tersebut yang akan memengaruhi prakiraan di dunia.

Benua maritim merujuk pada wilayah yang memiliki area laut luas, antara lain Indonesia, serta Australia, Filipina, hingga selatan India. Bagi Indonesia, kolaborasi riset sangat bermanfaat, antara lain untuk lebih memahami interaksi iklim dan atmosfer bagi kepentingan dalam negeri, terutama pada aktivitas kelautan.

"Ini sejalan dengan keinginan pemerintah menjadikan Indonesia poros maritim dunia," kata Kepala BMKG Andi Eka Sakya di sela-sela Years of Maritime Continent Implementation Plan Workshop, Selasa (24/11) di Jakarta.

Peserta internasional antara lain berasal dari Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Australia, Jerman, dan Inggris. BMKG juga mengajak mitra penelitian dalam negeri, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta sejumlah universitas. Peneliti dari Indonesia dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya.

Andi mengatakan, YMC memiliki beragam manfaat lain bagi Indonesia. Lewat kolaborasi riset tersebut, para peneliti Indonesia mendapat kesempatan peningkatan kapasitas. Indonesia dan mitra riset juga bisa memperbaiki sistem peringatan dini berbasis risiko yang terkait dengan iklim, laut, dan atmosfer, misalnya mengetahui kondisi abu yang telontar dari gunung meletus. Selain itu, Andi berharap YMC terintegrasi dalam agenda penelitian nasional Indonesia.


Indonesia strategis

Benua Maritim Indonesia (BMI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki posisi strategis karena diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudra (Hindia dan Pasifik). Garis Khatulistiwa juga melintasi area ini. Itu membuat BMI menjadi generator cuaca untuk wilayah belahan bumi utara ataupun selatan.

Posisi strategis tersebut membuat BMI menjadi wilayah yang mengalami berbagai variasi cuaca khas daerah tropis. Variasi cuaca skala regional antara lain Madden Julian Oscillation (MJO) yakni fluktuasi musiman atau gelombang atmosfer yang terjadi di kawasan tropik, Dipole Mode (DM) atau interaksi laut- atmosfer di Samudra Hindia yang dihitung dari perbedaan nilai (selisih) antara anomali suhu muka laut perairan pantai timur Afrika dan perairan di sebelah barat Sumatera, Quasi Biennial Oscillation (QBO) juga Tropospheric Biennial Oscillation (TBO) yang merupakan contoh bentuk variasi antar-tahunan elemen iklim yang berdampak global dalam sistem iklim planet bumi, serta Monsun yakni pola sirkulasi angin yang berembus secara periodik pada suatu periode (minimal 3 bulan) dan pada periode yang lain polanya akan berlawanan. Di Indonesia dikenal Monsun Asia dan Monsun Australia.

Untuk skala global, terdapat fenomena El Nino, yakni fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang ditandai memanasnya suhu muka laut di ekuator pasifik timur atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut positif (lebih panas dari rata-ratanya). Fenomena ini menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang.

Selain itu, ada juga Indonesia Through Flow (ITF), sirkulasi arus laut yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik. Sirkulasi tersebut tidak hanya penting bagi dua samudra tadi, tetapi juga bagi Samudra Atlantik.

Dengan kompleksitas fenomena cuaca dan iklim tersebut, Global Climate Model dan Numerical Weather Prediction di wilayah Indonesia dianggap kurang maksimal guna menggambarkan variabilitas cuaca dan iklim yang ada. Dengan demikian, studi lebih lanjut, termasuk yang akan diimplementasikan dalam YMC, sangat penting.

Director Department of Coupled Ocean-Atmosphered-Land Processes Research Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) Kunio Yoneyama menuturkan, jumlah negara yang terlibat dalam YMC terus meningkat. "Saat ini sudah ada 20 negara yang ikut serta dalam riset," ujarnya.


Chidong Zhang dari Universitas Miami, Amerika Serikat, mengatakan, benua maritim merupakan lokasi pusat pergerakan di atmosfer dunia. "Apa yang terjadi di benua maritim akan dirasakan di wilayah lain yang ribuan mil jauhnya," katanya.

Sumber : http://print.kompas.com/baca/2015/11/24/Years-of-the-Maritime-Continent-untuk-Perbaikan-Pr | Oleh : J GALUH BIMANTARA | 24 November 2015 13:29 WIB.




0 comments: