Monday, November 30, 2015

Waspada Dengan Datangnya Musim Penghujan

Andi Eka Sakya


Masa transisi yang dikenal masa pancaroba pertanda hadirnya musim penghujan.

Hujan mulai turun di wilayah Indonesia sejak beberapa hari lalu. Ucapan syukur atas berkah turunnya air (hujan) di beberapa tempat khususnya di lokasi kebakaran hutan dan lahan menjadi hal melegakan. Jumlah titik api di beberapa wilayah juga mulai menunjukan penurunan, walaupun belum seluruhnya menghilang.

Kehadiran musim penghujan kali ini sangat ditunggu banyak pihak, berbeda dengan tahun lalu. El Nino yang memundurkan jadwal kehadirannya di Indonesia berimbas menimbulkan kekeringan panjang di berbagai wilayah. Bahkan, beberapa daerah menunjukan jumlah ‘hari tanpa hujan’ lebih dari 120 hari.

Situasi ini tentu sangat meresahkan. Udara sangat kering dan air tanah tergerus. Kandungan air tanah berkurang drastis bahkan tidak ada air sama sekali. Dan yang lebih mengkhawatirkan rentan terhadap kebakaran hutan.

Menurut data yang dikeluarkan LAPAN, hutan dan lahan-lahan gambut yang terbakar mencapai 2 juta hektare. Sebayak 620.000 hektare di antaranya merupakan terbakarnya lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera. Sementara luas hutan terbakar mencapai 1,5 juta hektare, 38% diantaranya di Sumatera dan 33% di Kalimantan. Titik panas tersebut mulai menghilang sejak memasuki akhir Oktober dan awal November. Sedangkan fenomena El Nino yang terjadi masih akan diamati hingga April 2016 mendatang.

Wilayah Indonesia rentan terhadap perubahan iklim/cuaca hal itu dikarenakan Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah tropis, di antara Benua Asia dan Australia, di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dilalui garis katulistiwa. Terdiri dari kepulauan yang membujur dari barat ke timur, terdapat banyak selat dan teluk.

Sementara posisi matahari telah “menyeberang” dari belahan Utara katulistiwa ke selatan sejak akhir September. Pergeseran ini berimbas pula pada pola angin yang secara perlahan mengubah domisili monsun Australia yang kering dengan angin Monsun Asia yang lebih “basah”.

Karena itu masa transisi yang dikenal masa pancaroba “menjemput” hadirnya musim penghujan. Peluang hujan dengan intensitas “sangat rendah” menuju ke “rendah” mulai terasa. Wilayah Indonesia yang terdampak oleh El Nino, yaitu Wilayah selatan katulistiwa, mulai merasakan curahan air secara pelahan tetapi pasti.

Pergerakan musim hujan semakin masif memasuki pertengahan November. Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) akan merasakan intensitas puncak musim penghujan pada Januari atau Februari. Sementara di wilayah lain, terutama di sebelah timur Indonesia (NTB, NTT dan Papua bagian selatan), memasuki musim penghujan pada akhir Desember.

Wilayah Indonesia cukup luas, tidak dapat disamakan dengan wilayah Timor Leste atau Singapura yang hanya mempunyai periodisasi musim tunggal. Perbedaan yang muncul di Indonesia dapat mencapai 342 Zona Musim (ZOM), yang masing-masing mempunyai waktu awal dan akhir musim penghujan dan kemarau akan berbeda antara daerah satu dengan yang lain.

Berbeda dengan 22 negara yang berada di benua Eropa. Indonesia merupakan Negara yang mempunyai komplikasi prakiraan musim yang “diperberat” oleh kenyataan bahwa Indonesia secara geografis diapit dua benua, dua samudera dan negara kepulauan yang tepat di katulistiwa.

Angin yang bergerak dari selatan akan melakukan manuver berbelok saat mendekati katulistiwa, demikian pula sebaliknya. Bukan hanya karena di katulistiwa gaya Koriolisnya menjadi nihil, tetapi juga karena secara rutin dan teratur. Matahari pun berpindah posisi dari utara ke selatan dan sebaliknya. Itu sudah menjadi fenomena alam.

Kemajuan teknologi informasi dan komputerisasi memungkinkan untuk melakukan prediksi secara numerik. Tetapi bagi Indonesia yang secara geografis sangat luas dan terletak di wilayah konvektif yang sangat kuat, simulasi komputasi cuaca atau iklim yang sifatnya global akan mendapatkan tantangan pada kondisi lokal. Secara klimatologis sifat dan trend keikliman dapat disama-ratakan mencapai 30 tahun, tetapi kondisi cuaca (untuk mengartikan gejala pada jangka yang pendek) mensyaratkan pengamatan permukaan dengan kerapatan yang tinggi untuk ground through (rujukan data).


Dampak El Nino yang Dahsyat

Dampak El Nino yang sangat dahsyat dan memorak-porandakan 2 juta hektare hutan dan lahan, berakibat menjadi kebulan asap yang “dirasakan” oleh hampir 43 warga negara, menutup bandara, memaksa balik pesawat yang mendarat serta mengancam puso dan gagal panen 200.000 hektare sawah tadah hujan.

Wilayah Indonesia diapit oleh dua fenomena iklim ekstrem yang secara fenomena fisis disebabkan oleh kenaikan suhu muka laut. Pertama, di Pasifik Ekuatorial yang lazim dikenal sebagai ENSO (El Nino Southern Osciallation) dengan gejalanya dikenal sebagai El Nino dan La Nina.

Pada kejadian El Nino mengimbas kekeringan di sebagian wilayah di Indonesia, sebaliknya La Nina menggelontorkan hujan di sebagian wilayah Indonesia. Kedua, di Samudera Hindia yang di kenal sebagai Dipol Lautan Hindia – Moda Dipole (India Ocean Dipole – IOD). Seperti El Nino dan La Nina, untuk IOD, dikenal IOD positif dan negatif. IOD positif membawa dampak kekeringan, sementara negatif sebaliknya. Catatan peristiwa selama 50 tahun terakhir, kejadian El Nino yang kuat, biasanya diikuti dengan kemunculan La Nina. Selang waktu La Nina biasanya lebih lama dari peristiwa El Nino. Tentu demikian pula dampak bagi Indonesia. Jika merujuk sejarah keterjadinya, dapat diindikasikan peluang La Nina muncul pada tahun 2016, setelah El Nino 2015, berkisar 75%.

Indonesia sering diasosiasikan sebagai benua maritim. Interaksi laut dan atmosfir di Indonesia sangat signifikan pengaruhnya terhadap cuaca dan iklim dunia. Salah satunya adalah fenomena MJO. Gerak pemampatan dan perenggangan udara yang terjadi di wilayah Samudera Hindia dan secara bertahap menuju ke arah Pasifik. Terlepas Dari kondisi IOD negative atau La Nina, gejala MJO ini juga mendorong timbulnya hujan berlebihan di wilayah-wilayah yang dilaluinya. Analisis banjir yang terjadi pada tahun 2013 di Jakarta, lebih banyak disebabkan oleh gejala MJO ini dibanding dengan anomali yang lain.

Musim kemarau mulai bergeser memasuki musim penghujan. Berkah air menutup hampir semua halaman “masalah” kekeringan dan dampak El Nino. Namun demikian, kewaspadaan tetap diperlukan agar curah hujan yang turun tidak justru menimbulkan bencana dan penderitaan yang berkelanjutan.

Mulai terhapus karena perpindahan lokasi matahari yang mengimbas pola gerak dan arah angin. Uap air dari lautan China Selatan dan Samudera Hindia “didorong” memasukikawasan Indonesia mengantar peralihan musim kemarau panjang menjadi musim penghujan, walaupun potensi El Nino masih ada.

Penetapan awal musim penghujan, tidak diputuskan sepihak. Prosedur penetapan awal musim yang lazim dilakukan oleh Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO) melibka hampir semua stakeholders melalui mekanisme National Climate Outlook Forum (NCOF). Di Indonesia, selain BMKG, melibatkan perguruan tinggi seperti Institusi Pertanian Bogor (IPB) dan Institusi Teknologi Bandung (ITB). Dan, unsur Kementerian Pertanian (Kementan) dari Direktorat Perlindungan Hortikultura dan Tanaman Pangan, Balitbangtan, kemudian LAPAN serta BPPT. Pertemuan NCOF paling sedikit dua kali bertemu untuk menetapkan awal musim hujan dan kemarau.

Secara internal, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan teratur dan rutin mengupulkan data hujan dari seluruh wilayah di Indonesia, mengolah dan menyajikan sehingga dapat dikaji dan dievaluasi oleh NCOF. Kesepakatan itu menjadi dasar penetapan awal musim, dan tentu akan menjelaskan bahwa Indonesia mempunyai lebih dari 300 ZOM.

Awal musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia diprakirakan dimulai pada November dan Desember. Kondisi “normal”, awal musim hujan 2015-2016 diprakirakan mundur (83,5%), sama (14,4%) dan maju (2,1%). Wilayah Indonesia yang sudah memasuki Musim Hujan sampai dengan Oktober 2015 meliputi wilayah Aceh bagian Tengah, sebagian besar Sumatera Utara, Riau bagian Barat dan Jayapura. Sifat Hujan selama Musim Hujan 2015-2016 di sebagian besar daerah yaitu 207 ZOM (60.5%) diprakirakan Normal, dan 99 ZOM (28.9%) akan terjadi Bawah Normal, sedangkan Atas Normal yaitu sebanyak 36 ZOM (10.5%).


Musim Penghujan Datang perlu Antisipasi

Peralihan musim kemarau ke musim penghujan ditandai dengan perubahan arah dan kecepatan angin. Memasuki musim hujan, pumpunan awan banyak terjadi di wilayah selata katulistiwa disebabkan angin berbelok dari utara ke arah tenggara saat mendekati katulistiwa. Di belahan selatan, angin berbelok dari selatan kearah timur laut. Proses perlambatan dan pertemuan keduanya menyebabkan terjadinya wilayah Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ). Dinamika awan yang muncul karena proses konvektif pada wilayah ITCZ ini perlu diwaspadai terutama untuk penerbangan dan pelayaran.

Pada periode transisi, biasanya hujan turun dengan intensitas tinggi disertai dengan petir atau angin yang kencang. Kondisi itu, akan menimbulkan potensi puting beliung atau hujan es bahkan mengakibatkan pohon-pohon tumbang. Sehingga perlu pengaturan pemangkasan pohon-pohon di jalan agar tidak membahayakan.

Datangnya musim penghujan selain memberikan berkah tetapi juga perlu diwaspadai terutama saat puncak musimnya. Untuk wilayah Jabodetabek, puncak penghujan terjadi pada Januari atau Februari.

Catatan peristiwa banjir di Jakarta, pada umumnya terjadi pada puncak penghujan akhir Januari hingga pertengahan Februari. Wilayah Jabodetabek, menarik untuk dilihat yang menjadi obyek penelitian Siswanto (2015) tentang pola hujan di Jakarta. Dan, dipublikasikan bersama 31 artikel ilmiah pada 5 November 2015 yang lalu di Bulletin of the American Meteorological Society (BAMS).

Hasil kajian Siswanto terhadap data hujan di Jabodetabek selama 115 Tahun menunjukan peningkatan secara signifikan dan sukar terprediksi peluang terjadinya hujan dengan intensitas yang tinggi dan frekwensi keterjadian di Jabodetabek. Siswanto menyimpulkan bahwa peluang hujan turun secara ekstrem di Jakarta meningkat dua kali lipat di banding 100 Tahun yang lalu.

Jika potensi ancaman banjir ini digeneralisasi, langkah bijak mengantisipasi yaitu melakukan persiapan disisa waktu menunggu puncak musim, antara lain : pembersihan bantaran sungai, saluran air dan semua penghambat laju aliran. Selanjutnya, untuk mengurangi beban derasnya aliran, perlu diupayakan menambah kemampuan daya serap permukaan dengan membuat gerakan pembuatan embung, sumur resapan dan biopori.  


Andi Eka Sakya, 
Diterbitkan : Koran Sindo, Edisi Rabu 18 November 2015, Hal. 2





0 comments: