http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

Monday, November 30, 2015

Warta Kota : BMKG Wujudkan Indonesia Jadi Poros Maritim Dunia


WARTA KOTA, DEPOK - Indonesia melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjadi tuan rumah lokakarya perencanaan pelaksanaan Years of the Maritime Continent (YMC) 2017-2019 atau Years of Maritime Continent Implementation Plan Workshop 2017-2019, yang digelar mulai Selasa (24/11/2015) hingga Kamis (26/11/2015).

YMC merupakan kerja sama riset dunia internasional untuk mempelajari interaksi laut dan atmosfer di benua maritim dimana Indonesia adalah salah satu negara maritim yang terbesar.

Ini artinya Indonesia merupakan generator cuaca dunia, atau cuaca di Indonesia sangat mempengaruhi cuaca dunia.

Karenanya dengan lokakarya YMC yang diikuti 27 peserta dari 10 negara di dunia ini, bertujuan memperbaiki prakiraan cuaca dan iklim di benua maritim termasuk Indonesia.

Sebab area dimana Indonesia berada yang tepat di jantung khatulistiwa inilah yang akan mempengaruhi prakiraan cuaca di dunia.

Hal itu dikatakan Kepala BMKG, Dr Andi Eka Sakya di sela-sela Years of Maritime Continent Implementation Plan Workshop, di Kantor BMKG, Rabu (25/11/2015) di Jakarta.

Menurut Andi, kegiatan workshop YMC kali ini adalah yang kedua, dimana merupakan kelanjutan YMC tahun sebelumnya di Singapura.

Yang dibahas dalam YMC kali ini, katanya, mengenai implementation plan atau implementasi rencana, berupa pengajuan proposal riset setiap peserta. Juga termasuk rencana kerjasama antar negara secara internasional dan nasional.

"Kegiatan ini sejalan dengan keinginan pemerintah supaya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dari sini kita tingkatkan pemahaman dan prakiraan terhadap perubahan cuaca dan iklim di benua maritim, sekaligus mengetahui dampak perubahan cuaca dan iklim secara global," kata Andi.

Andi menjelaskan kegiatan yang merupakan inisiatif multilateral ini, akan menggunakan peralatan observasi yang dimiliki Indonesia dan institusi dari negara-negara mitra konsorsium YMC.

"Saat ini tercatat ada 11 negara mitra konsorsium YMC," kata Andi.

Yakni Amerika Serikat, Inggris, Australia, Cina, Jepang, Jerman, Filipina, Singapura, Perancis, Taiwan, dan Indonesia.

"Semuanya akan berpartisipasi dengan melibatkan puluhan lembaga penelitian dan universitas dari setiap negara," kata Andi.

Andi menuturkan workshop ini diikuti 27 peserta dari 10 negara yang berasal dari Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Ukraina, Singapura, Filipina, Australia, Jerman, dan Inggris.

BMKG sendiri, kata Andi, mengikutsertakan lembaga penelitian dalam negeri mitra BMKG, diantaranya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta sejumlah universitas seperti ITB, IPB, Unsri, dan Unsoed.

"Indonesia aktif dan andil dalam Kegiatan YMC ini, meningat Benua Maritim Indonesia (BMI) merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia. Apalagi posisi cukup sentral dan strategis, karena diapit oleh dua benua yakni Asia dan Australia, serta dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selain itu Indonesia dilalui oleh garis khatulistiwa," kata Andi.

Posisi tersebut, tambah Andi menjadikan Benua Maritim Indoensia, sebagai generator cuaca untuk wilayah Belahan Bumi Utara dan Selatan.

"Sehingga variasi cuaca di BMI memang cukup kompleks," katanya.

Namun demikian, kompleksnya variasi cuaca di BMI, menjadi kendala dan membuat Global Climate Model (GCM) serta Numerical Weather Prediction (NWP) di wilayah Indonesia dianggap kurang maksimal untuk menggambarkan variabilitas cuaca dan iklim yang ada.

"Ini tidak menyurutkan BMKG dalam menjawab tantangan global tersebut. Karenanya diperlukan studi lebih lanjut untuk menjawab tantangan tersebut," kata Andi.

Andi menuturkan dalam menjawab tantangan tersebut, BMKG mengkoordinasikan peneliti nasional seperti, BPPT, KKP, LAPAN, LIPI, BIG, P3GL, Kemenristek Dikti, Kemenkomar dan sejumlah universitas.

"Selain itu bersama dengan peneliti asing dari 14 negara kita sudah melakukan kajian di wilayah Marine Continent meliputi darat, laut dan udara," katanya.


Sumber : http://wartakota.tribunnews.com/2015/11/25/bmkg-wujudkan-indonesia-jadi-poros-maritim-dunia?page=3 |  Penulis: Budi Sam Law Malau | Editor: Hertanto Soebijoto.




"Years of the Maritime Continent" untuk Perbaikan Prakiraan Klimatologi



JAKARTA, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menjadi tuan rumah lokakarya perencanaan pelaksanaan Years of the Maritime Continent (YMC) 2017-2019, Selasa (24/11) hingga Kamis (26/11). YMC merupakan kerja sama riset internasional untuk mempelajari interaksi laut dan atmosfer di benua maritim. Salah satu hasil positifnya adalah bisa memperbaiki prakiraan cuaca dan iklim di area tersebut yang akan memengaruhi prakiraan di dunia.

Benua maritim merujuk pada wilayah yang memiliki area laut luas, antara lain Indonesia, serta Australia, Filipina, hingga selatan India. Bagi Indonesia, kolaborasi riset sangat bermanfaat, antara lain untuk lebih memahami interaksi iklim dan atmosfer bagi kepentingan dalam negeri, terutama pada aktivitas kelautan.

"Ini sejalan dengan keinginan pemerintah menjadikan Indonesia poros maritim dunia," kata Kepala BMKG Andi Eka Sakya di sela-sela Years of Maritime Continent Implementation Plan Workshop, Selasa (24/11) di Jakarta.

Peserta internasional antara lain berasal dari Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Australia, Jerman, dan Inggris. BMKG juga mengajak mitra penelitian dalam negeri, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta sejumlah universitas. Peneliti dari Indonesia dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya.

Andi mengatakan, YMC memiliki beragam manfaat lain bagi Indonesia. Lewat kolaborasi riset tersebut, para peneliti Indonesia mendapat kesempatan peningkatan kapasitas. Indonesia dan mitra riset juga bisa memperbaiki sistem peringatan dini berbasis risiko yang terkait dengan iklim, laut, dan atmosfer, misalnya mengetahui kondisi abu yang telontar dari gunung meletus. Selain itu, Andi berharap YMC terintegrasi dalam agenda penelitian nasional Indonesia.


Indonesia strategis

Benua Maritim Indonesia (BMI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki posisi strategis karena diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudra (Hindia dan Pasifik). Garis Khatulistiwa juga melintasi area ini. Itu membuat BMI menjadi generator cuaca untuk wilayah belahan bumi utara ataupun selatan.

Posisi strategis tersebut membuat BMI menjadi wilayah yang mengalami berbagai variasi cuaca khas daerah tropis. Variasi cuaca skala regional antara lain Madden Julian Oscillation (MJO) yakni fluktuasi musiman atau gelombang atmosfer yang terjadi di kawasan tropik, Dipole Mode (DM) atau interaksi laut- atmosfer di Samudra Hindia yang dihitung dari perbedaan nilai (selisih) antara anomali suhu muka laut perairan pantai timur Afrika dan perairan di sebelah barat Sumatera, Quasi Biennial Oscillation (QBO) juga Tropospheric Biennial Oscillation (TBO) yang merupakan contoh bentuk variasi antar-tahunan elemen iklim yang berdampak global dalam sistem iklim planet bumi, serta Monsun yakni pola sirkulasi angin yang berembus secara periodik pada suatu periode (minimal 3 bulan) dan pada periode yang lain polanya akan berlawanan. Di Indonesia dikenal Monsun Asia dan Monsun Australia.

Untuk skala global, terdapat fenomena El Nino, yakni fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang ditandai memanasnya suhu muka laut di ekuator pasifik timur atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut positif (lebih panas dari rata-ratanya). Fenomena ini menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang.

Selain itu, ada juga Indonesia Through Flow (ITF), sirkulasi arus laut yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik. Sirkulasi tersebut tidak hanya penting bagi dua samudra tadi, tetapi juga bagi Samudra Atlantik.

Dengan kompleksitas fenomena cuaca dan iklim tersebut, Global Climate Model dan Numerical Weather Prediction di wilayah Indonesia dianggap kurang maksimal guna menggambarkan variabilitas cuaca dan iklim yang ada. Dengan demikian, studi lebih lanjut, termasuk yang akan diimplementasikan dalam YMC, sangat penting.

Director Department of Coupled Ocean-Atmosphered-Land Processes Research Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) Kunio Yoneyama menuturkan, jumlah negara yang terlibat dalam YMC terus meningkat. "Saat ini sudah ada 20 negara yang ikut serta dalam riset," ujarnya.


Chidong Zhang dari Universitas Miami, Amerika Serikat, mengatakan, benua maritim merupakan lokasi pusat pergerakan di atmosfer dunia. "Apa yang terjadi di benua maritim akan dirasakan di wilayah lain yang ribuan mil jauhnya," katanya.

Sumber : http://print.kompas.com/baca/2015/11/24/Years-of-the-Maritime-Continent-untuk-Perbaikan-Pr | Oleh : J GALUH BIMANTARA | 24 November 2015 13:29 WIB.




Buana News : BMKG Siap Jadikan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia



Jakarta BuanaNews - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjadi tuan rumah lokakarya perencanaan pelaksanaan Years of the Maritime Continent (YMC) 2017-2019, Selasa (24/11) hingga Kamis (26/11).

YMC merupakan kerja sama riset internasional untuk mempelajari interaksi laut dan atmosfer di benua maritim. Salah satu hasil positifnya adalah bisa memperbaiki prakiraan cuaca dan iklim di area tersebut yang akan memengaruhi prakiraan cuaca di dunia.

Kegiatan Workshop yang kedua kali ini, merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya yang dilaksanakan di Singapura, dan kali ini yang akan dibahas yaitu mengenai  implementation plan berupa pengajuan proposal riset setiap peserta, dan kerjasama antar Internasional dan nasional.

Kepala BMKG, Dr. Adi Eka Sakya menuturkan bahwa kegiatan  Ini sejalan dengan keinginan pemerintah supaya menjadikan Indonesia sebagai  poros maritim dunia.

“Diharapkan melalui kegiatan ini dapat meningkatkan pemahaman dan prakiraan terhadap perubahan cuaca dan iklim di benua maritim dan sekaligus untuk mengetahui dampak perubahan secara global”. kata Andi Eka Sakya di sela-sela Years of Maritime Continent Implementation Plan Workshop, Selasa (24/11) di Jakarta.

Pada kegiatan inisiatif multilateral ini akan menggunakan peralatan observasi yang dimiliki Indonesia dan institusi dari negara-negara mitra konsorsium YMC.

"Saat ini tercatat 11  negara termasuk  Australia, Cina, Jepang, Jerman, Filipina, Singapura, Amerika, Inggris, Perancis, Taiwan, dan Indonesia akan berpatisipasi dengan melibatkan puluhan lembaga penelitian dan universitas" Terang Andi.

Workshop ini diikuti oleh 27 peserta dari 10 negara yang berasal dari Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Ukraina, Singapura, Philiphine, Australia, Jerman, dan Inggris. BMKG sendiri mengajak mitra penelitian dalam negeri, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta sejumlah universitas seperti ITB, IPB, Unsri, dan Unsoed.

"Indonesia andil dalam Kegiatan YMC dikarenakan meningat Benua Maritim Indonesia (BMI) merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak pada posisi strategis, diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik) serta dilalui oleh garis khatulistiwa" ujar Andi menjelaskan.

Lebih lanjut Andi menjelaskan, posisi tersebut menjadikan BMI sebagai generator cuaca untuk wilayah Belahan Bumi Utara maupun Selatan.

Namun demikian, kompleksnya variasi cuaca yang terjadi di BMI, membuat Global Climate Model (GCM) dan Numerical Weather Prediction (NWP) diwilayah Indonesia dianggap kurang maksimal untuk menggambarkan variabilitas cuaca dan iklim yang ada.

Hal ini tidak menyurutkan nyali BMKG dalam menjawab tantangan global tersebut"Oleh karena itu diperlukan studi lebih lanjut untuk menjawab tantangan tersebut. Demi menjawab tantangan tersebut, maka BMKG mengkoordinasikan peneliti nasional seperti, BPPT, KKP, LAPAN, LIPI, BIG, P3GL, Kemenristek Dikti, Kemenkomar dan Universitas" tegas Andi.

"Bersama dengan peneliti asing dari 14 negara melakukan kajian di wilayah Marine Continent meliputi darat, laut dan udara" lanjutnya menegaskan.(BRA)


Sumber : http://www.buana-news.com/2015/11/bmkg-siap-jadikan-indonesia-sebagai.html?m=1 | Posted by : Redaksi Buana News | Date : 14.32 | Labels : nusantara.



Persiapan Final DELRI Bidang Iklim Kelautan Untuk COP 21 Paris



(Jakarta - 27/11/2015). Bertempat di Ruang Rapat Kepala BMKG di Kemayoran, usai makan siang bersama, berlangsung rapat persiapan akhir materi yang akan dibawakan oleh Delegasi Republik Indonesia (DELRI). Menteri Kelautan dan Perikanan, melalui surat resminya kepada panitia Ocean Day COP 21 Paris, menunjuk Staf Ahli Menteri KKP, Dr. Ir. Achmad Poernomo, M.App.Sc. bersama Kepala Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika, Dr. Andi Eka Sakya, M.Sc untuk menyuarakan kontribusi Indonesia dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim di bidang kelautan dan perikanan serta pemantauan iklim-laut.

DELRI yang akan terbang minggu malam (29/11/2015) akan membagi tugas pemaparan di beberapa side event di COP 21 tersebut. Hadir pula dari P3SDLP selaku tim penyiapan materi tersebut, Dr. Budi Sulistiyo (Kepala P3SDLP), Dr. Anastasia Tisiana (Ketua Kelompok Litbang Kebijakan Perubahan Iklim), dan Dr. Widodo Pranowo (Kepala Bidang Pelayanan Teknis). Anggota DELRI yang turut hadir pada rapat persiapan tersebut adalah Dr. Agus Darmawan (Direktur Konservasi Kelautan dan Jenis Ikan KKP), Dr. Nani Hendiarti (Salah satu Asdep di Kemenko Maritim), dan Ir. Nurhayati, M.Sc (Kepala Pusat Iklim Maritim BMKG).

Materi yang akan disampaikan nanti berkisar pada isu kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat kenaikan muka air laut, variabilitas produksi perikanan terkait dengan iklim-laut, bencana hidro-meteorologi akibat iklim ekstrim, dan langkah adaptasi melalui potensi karbon biru. Materi tersebut, bagaimanapun, mempunyai keeratan hubungan dengan materi Ekonomi Biru dan Konsep Pembangunan Dengan Memanfaatkan Sumberdaya Alam yang Terbaharukan dan Keberlanjutan yang akan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada 30 November 2015 di COP 21 Paris.





Media Indonesia : BMKG Siap Jadikan Indonesia Poros Maritim Dunia



BADAN Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjadi tuan rumah lokakarya perencanaan pelaksanaan Years of the Maritime Continent (YMC) 2017-2019, Selasa (24/11) hingga Kamis (26/11). YMC merupakan kerja sama riset internasional untuk mempelajari interaksi laut dan atmosfer di benua maritim. Salah satu hasil positifnya adalah bisa memperbaiki prakiraan cuaca dan iklim di area tersebut yang akan memengaruhi prakiraan cuaca di dunia.

Kegiatan Workshop yang kedua kali ini, merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya yang dilaksanakan di Singapura, dan kali ini yang akan dibahas yaitu mengenai  implementation plan berupa pengajuan proposal riset setiap peserta, dan kerjasama antar Internasional dan nasional. Kepala BMKG Adi Eka Sakya menuturkan bahwa kegiatan ini sejalan dengan keinginan pemerintah supaya menjadikan Indonesia sebagai  poros maritim dunia.

"Diharapkan melalui kegiatan ini dapat meningkatkan pemahaman dan prakiraan terhadap perubahan cuaca dan iklim di benua maritim dan sekaligus untuk mengetahui dampak perubahan secara global". kata Andi Eka Sakya di sela-sela Years of Maritime Continent Implementation Plan Workshop, Selasa (24/11) di Jakarta. Pada kegiatan inisiatif multilateral ini akan menggunakan peralatan observasi yang dimiliki Indonesia dan institusi dari negara-negara mitra konsorsium YMC. "Saat ini tercatat 11  negara termasuk  Australia, Cina, Jepang, Jerman, Filipina, Singapura, Amerika, Inggris, Perancis, Taiwan, dan Indonesia akan berpatisipasi dengan melibatkan puluhan lembaga penelitian dan universitas" Terang Andi.

Workshop ini diikuti oleh 27 peserta dari 10 negara yang berasal dari Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Ukraina, Singapura, Philiphine, Australia, Jerman, dan Inggris. BMKG sendiri mengajak mitra penelitian dalam negeri, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta sejumlah universitas seperti ITB, IPB, Unsri, dan Unsoed.

"Indonesia andil dalam Kegiatan YMC dikarenakan meningat Benua Maritim Indonesia (BMI) merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak pada posisi strategis, diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik) serta dilalui oleh garis khatulistiwa" ujar Andi menjelaskan.  "Posisi tersebut menjadikan BMI sebagai generator cuaca untuk wilayah Belahan Bumi Utara maupun Selatan" lanjutnya.

Namun demikian, kompleksnya variasi cuaca yang terjadi di BMI, membuat Global Climate Model (GCM) dan Numerical Weather Prediction (NWP) diwilayah Indonesia dianggap kurang maksimal untuk menggambarkan variabilitas cuaca dan iklim yang ada. Hal ini tidak menyurutkan nyali BMKG dalam menjawab tantangan global tersebut"Oleh karena itu diperlukan studi lebih lanjut untuk menjawab tantangan tersebut. Demi menjawab tantangan tersebut, maka BMKG mengkoordinasikan peneliti nasional seperti, BPPT, KKP, LAPAN, LIPI, BIG, P3GL, Kemenristek Dikti, Kemenkomar dan Universitas" tegas Andi.  "bersama dengan peneliti asing dari 14 negara melakukan kajian di wilayah Marine Continent meliputi darat, laut dan udara" lanjutnya menegaskan.


Sumber : http://mediaindonesia.com/misiang/read/4594/BMG-Siap-Jadikan-Indonesia-Poros-Maritim-Dunia/2015/11/25 | Rabu, 25 November 2015 | Penulis: Nurul Fadillah | Doc. Media Indonesia



BMKG Kirim Tim Peneliti ke Antartika-Puncak Jaya


indopos.co.id –  Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengirimkan enam penelitinya ke Antartika dan Puncak Jaya, Papua. Tujuannya untuk memahami pengaruh laut terhadap kondisi iklim dan cuaca Indonesia.

Kepala BMKG Andi Eka Sakya mengatakan, Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia. Lebih dari 70 persen wilayahnya merupakan wilayah lautan. Iklim di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sirkulasi monsoon panas Autralia yang terjadi pada April hingga September dan sirkulasi monsoon dingin Asia yang terjadi pada Oktober hingga Maret. ”Ini menyebabkan pemahaman terhadap kondisi laut menjadi sangat penting, mengingat Indonesia dipengaruhi oleh Samudera Pasifik dan Hindia,” ujarnya.

Dua peneliti BMKG, Wido Hanggoro dan Kadarsah, kemarin melakukan pelayaran menggunakan kapal riset ke Stasiun Meteorologi Davis di Kutub Selatan. Mereka bergabung bersama dengan Tim Ekspedisi Bureau of Meteorology (BoM) –Australian Antarctic Division (AAD). Dalam perjalanannya, tim tersebut akan mengumpulkan dan menganalisis data kondisi laut menggunakan berbagai alat dan data observasi. ”Simulasi model meteorologi resolusi tinggi dan pengamatan udara atas menggunakan Light Detection and Ranging (LIDAR) akan difokuskan di Stasiun Meteorologi Davies,” ujar Andi.

Bersamaan dengan dua peneliti tersebut, BMKG juga memberangkatkan empat peneliti lainnya yakni, Dyah Lukita Sari, Ferdika A. Harapak, Najib Habibie, dan Donny Kristianto ke Puncak Jaya Papua. Tim melakukan ekspedisi penelitian untuk memahami dampak pemanasan global di wilayah khatulistiwa. ”Penelitian ini merupakan kerja sama BMKG dengan Ohio University, Colombia University dan Freeport yang dilakukan untuk ketiga kalinya sejak 2010,” ujar Andi.

Rangkaian ekspedisi penelitian tersebut merupakan program penelitian dan sekaligus menjadi “batu-tapak” kontribusi Indonesia terhadap pemahaman dinamika iklim secara global. Posisi strategis geografi Indonesia menjadi kunci pemahaman dinamika iklim dan perubahannya. Langkah kebijakan ini juga menjadi bagian dari keberpihakan BMKG dalam bidang penelitian dalam mendukung upaya peningkatan pelayanan meteorologi, klimatologi dan geofisika, serta peningkatan SDM Indonesia.

Andi berharap hasil penelitian dari kedua ekpedisi tersebut akan menjadi sumbangan yang sangat berharga secara global. Hasilnya diharapkan memberikan pemahaman hubungan telekoneksi iklim antara wilayah tropis dengan antartika. ”Kedua ekspedisi tersebut merupakan masukan berharga bagi rangkaian penelitian 2017–2019. Pada 2017–2019 merupakan Tahun Benua Maritim atau Year of Maritime Continent (YMC) dan Year of Polar Initiative (YPI) di Antartika,” ujarnya.

Untuk itu, sebelum pelaksanaan kedua ekspedisi tersebut, BMKG melakukan program terkait kemaritiman di antaranya melalui kerja sama BMKG, BPPT dan NOAA-USA, dalam Indonesia Program Initiative on Maritime Observation and Analysis (Indonesia Prima) berupa ekspedisi pelayaran ke Samudera Hindia dengan memanfaatkan Kapal Baruna Jaya I pada 16 April–15 Mei 2015. (dni)






BMKG Bersinergi dengan Lembaga Meteorologi Dunia


indopos.co.id – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terus menguatkan pertukaran informasi iklim dan cuaca di antara negara-negara Asia Tenggara. Tujuannya guna mengantisipasi bencana-bencana. Upaya yang saat ini dilakukan adalah bersinergi dengan World Meteorology Organization Integrated Observation System (WIGOS). Wujudnya dengan menggelar acara ”Workshop for Disaster Risk Reduction” di BMKG yang diselenggarakan selama 3 Hari yaitu dari 12 hingga 14 Oktober 2015.

”Wokrshop ini bertujuan untuk membangun kesamaan pemahaman tentang kebutuhan data dan pengamatan, di Asia Tenggara untuk mendukung upaya pengurangan resiko bencana dihadiri oleh negara anggota WMO antara lain: Australia, Bangladesh, China, Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore, Thailand,” jelas Kapala BMKG Andi Eka Sakya. Kejasama tersebut menurut Andi akan memperkuat basis data mengenai informasi Meteorologi dan Klimatologi antara negara-negara ASEAN.

”Menyusun rencana awal untuk proyek-proyek bersama yang dapat memfasilitasi upaya peningkatan ketersediaan dan kualitas data untuk kepentingan prakiraan dan peringatan dini, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Lebih khusus, kegiatan bersama tersebut difokuskan pada penggunaan data meteorologi penginderaan jauh, seperti radar cuaca dan satelit, untuk mendukung pengurangan risiko bencana,” ujarnya. Pertukaran informasi sendiri sejatinya telah ada. Kendati demikian, kriteria informasi yang dipertukarkan perlu diperbanyak. Upaya menuju pertukaran informasi tersebut memiliki banyak tahapan.

WIGOS ini adalah alat tapi belum bicara pada peraturan yang perlu disepakati bersama. ”Apakah pertukaran data ini bisa disepakati oleh masing-masing negara, kemudian bagaimana kita letakkan data itu agar terbaca oleh semua lapisan masyarakat dan juga oleh kita,” ungkapnya. Lalu, lanjutnya, ada prosedur peraturan bagaimana komitmen terhadap data itu. Ada banyak hal yang perlu disepakati. ”Nah, inilah yang akan kita ketahui dan lewat workshop WIGOS ini akan menjadi pembuka jalan,” tegasnya.

Andi mengharapkan pertukaran informasi cuaca dan iklim di kawasan Asia Tenggara akan lebih intensif. Namun dalam prosesnya, negara-negara di kawasan perlu menyepakati terlebih dahulu mengenai kebijakan-kebijakan pertukaran informasi. ”Targetnya, kerja sama di antara negara-negara Asia Tenggara mengalami perkembangan nyata sebelum Kongres Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) ke-18 pada 2019,” pungkas Andi. (dni)





Waspada Dengan Datangnya Musim Penghujan

Andi Eka Sakya


Masa transisi yang dikenal masa pancaroba pertanda hadirnya musim penghujan.

Hujan mulai turun di wilayah Indonesia sejak beberapa hari lalu. Ucapan syukur atas berkah turunnya air (hujan) di beberapa tempat khususnya di lokasi kebakaran hutan dan lahan menjadi hal melegakan. Jumlah titik api di beberapa wilayah juga mulai menunjukan penurunan, walaupun belum seluruhnya menghilang.

Kehadiran musim penghujan kali ini sangat ditunggu banyak pihak, berbeda dengan tahun lalu. El Nino yang memundurkan jadwal kehadirannya di Indonesia berimbas menimbulkan kekeringan panjang di berbagai wilayah. Bahkan, beberapa daerah menunjukan jumlah ‘hari tanpa hujan’ lebih dari 120 hari.

Situasi ini tentu sangat meresahkan. Udara sangat kering dan air tanah tergerus. Kandungan air tanah berkurang drastis bahkan tidak ada air sama sekali. Dan yang lebih mengkhawatirkan rentan terhadap kebakaran hutan.

Menurut data yang dikeluarkan LAPAN, hutan dan lahan-lahan gambut yang terbakar mencapai 2 juta hektare. Sebayak 620.000 hektare di antaranya merupakan terbakarnya lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera. Sementara luas hutan terbakar mencapai 1,5 juta hektare, 38% diantaranya di Sumatera dan 33% di Kalimantan. Titik panas tersebut mulai menghilang sejak memasuki akhir Oktober dan awal November. Sedangkan fenomena El Nino yang terjadi masih akan diamati hingga April 2016 mendatang.

Wilayah Indonesia rentan terhadap perubahan iklim/cuaca hal itu dikarenakan Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah tropis, di antara Benua Asia dan Australia, di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dilalui garis katulistiwa. Terdiri dari kepulauan yang membujur dari barat ke timur, terdapat banyak selat dan teluk.

Sementara posisi matahari telah “menyeberang” dari belahan Utara katulistiwa ke selatan sejak akhir September. Pergeseran ini berimbas pula pada pola angin yang secara perlahan mengubah domisili monsun Australia yang kering dengan angin Monsun Asia yang lebih “basah”.

Karena itu masa transisi yang dikenal masa pancaroba “menjemput” hadirnya musim penghujan. Peluang hujan dengan intensitas “sangat rendah” menuju ke “rendah” mulai terasa. Wilayah Indonesia yang terdampak oleh El Nino, yaitu Wilayah selatan katulistiwa, mulai merasakan curahan air secara pelahan tetapi pasti.

Pergerakan musim hujan semakin masif memasuki pertengahan November. Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) akan merasakan intensitas puncak musim penghujan pada Januari atau Februari. Sementara di wilayah lain, terutama di sebelah timur Indonesia (NTB, NTT dan Papua bagian selatan), memasuki musim penghujan pada akhir Desember.

Wilayah Indonesia cukup luas, tidak dapat disamakan dengan wilayah Timor Leste atau Singapura yang hanya mempunyai periodisasi musim tunggal. Perbedaan yang muncul di Indonesia dapat mencapai 342 Zona Musim (ZOM), yang masing-masing mempunyai waktu awal dan akhir musim penghujan dan kemarau akan berbeda antara daerah satu dengan yang lain.

Berbeda dengan 22 negara yang berada di benua Eropa. Indonesia merupakan Negara yang mempunyai komplikasi prakiraan musim yang “diperberat” oleh kenyataan bahwa Indonesia secara geografis diapit dua benua, dua samudera dan negara kepulauan yang tepat di katulistiwa.

Angin yang bergerak dari selatan akan melakukan manuver berbelok saat mendekati katulistiwa, demikian pula sebaliknya. Bukan hanya karena di katulistiwa gaya Koriolisnya menjadi nihil, tetapi juga karena secara rutin dan teratur. Matahari pun berpindah posisi dari utara ke selatan dan sebaliknya. Itu sudah menjadi fenomena alam.

Kemajuan teknologi informasi dan komputerisasi memungkinkan untuk melakukan prediksi secara numerik. Tetapi bagi Indonesia yang secara geografis sangat luas dan terletak di wilayah konvektif yang sangat kuat, simulasi komputasi cuaca atau iklim yang sifatnya global akan mendapatkan tantangan pada kondisi lokal. Secara klimatologis sifat dan trend keikliman dapat disama-ratakan mencapai 30 tahun, tetapi kondisi cuaca (untuk mengartikan gejala pada jangka yang pendek) mensyaratkan pengamatan permukaan dengan kerapatan yang tinggi untuk ground through (rujukan data).


Dampak El Nino yang Dahsyat

Dampak El Nino yang sangat dahsyat dan memorak-porandakan 2 juta hektare hutan dan lahan, berakibat menjadi kebulan asap yang “dirasakan” oleh hampir 43 warga negara, menutup bandara, memaksa balik pesawat yang mendarat serta mengancam puso dan gagal panen 200.000 hektare sawah tadah hujan.

Wilayah Indonesia diapit oleh dua fenomena iklim ekstrem yang secara fenomena fisis disebabkan oleh kenaikan suhu muka laut. Pertama, di Pasifik Ekuatorial yang lazim dikenal sebagai ENSO (El Nino Southern Osciallation) dengan gejalanya dikenal sebagai El Nino dan La Nina.

Pada kejadian El Nino mengimbas kekeringan di sebagian wilayah di Indonesia, sebaliknya La Nina menggelontorkan hujan di sebagian wilayah Indonesia. Kedua, di Samudera Hindia yang di kenal sebagai Dipol Lautan Hindia – Moda Dipole (India Ocean Dipole – IOD). Seperti El Nino dan La Nina, untuk IOD, dikenal IOD positif dan negatif. IOD positif membawa dampak kekeringan, sementara negatif sebaliknya. Catatan peristiwa selama 50 tahun terakhir, kejadian El Nino yang kuat, biasanya diikuti dengan kemunculan La Nina. Selang waktu La Nina biasanya lebih lama dari peristiwa El Nino. Tentu demikian pula dampak bagi Indonesia. Jika merujuk sejarah keterjadinya, dapat diindikasikan peluang La Nina muncul pada tahun 2016, setelah El Nino 2015, berkisar 75%.

Indonesia sering diasosiasikan sebagai benua maritim. Interaksi laut dan atmosfir di Indonesia sangat signifikan pengaruhnya terhadap cuaca dan iklim dunia. Salah satunya adalah fenomena MJO. Gerak pemampatan dan perenggangan udara yang terjadi di wilayah Samudera Hindia dan secara bertahap menuju ke arah Pasifik. Terlepas Dari kondisi IOD negative atau La Nina, gejala MJO ini juga mendorong timbulnya hujan berlebihan di wilayah-wilayah yang dilaluinya. Analisis banjir yang terjadi pada tahun 2013 di Jakarta, lebih banyak disebabkan oleh gejala MJO ini dibanding dengan anomali yang lain.

Musim kemarau mulai bergeser memasuki musim penghujan. Berkah air menutup hampir semua halaman “masalah” kekeringan dan dampak El Nino. Namun demikian, kewaspadaan tetap diperlukan agar curah hujan yang turun tidak justru menimbulkan bencana dan penderitaan yang berkelanjutan.

Mulai terhapus karena perpindahan lokasi matahari yang mengimbas pola gerak dan arah angin. Uap air dari lautan China Selatan dan Samudera Hindia “didorong” memasukikawasan Indonesia mengantar peralihan musim kemarau panjang menjadi musim penghujan, walaupun potensi El Nino masih ada.

Penetapan awal musim penghujan, tidak diputuskan sepihak. Prosedur penetapan awal musim yang lazim dilakukan oleh Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO) melibka hampir semua stakeholders melalui mekanisme National Climate Outlook Forum (NCOF). Di Indonesia, selain BMKG, melibatkan perguruan tinggi seperti Institusi Pertanian Bogor (IPB) dan Institusi Teknologi Bandung (ITB). Dan, unsur Kementerian Pertanian (Kementan) dari Direktorat Perlindungan Hortikultura dan Tanaman Pangan, Balitbangtan, kemudian LAPAN serta BPPT. Pertemuan NCOF paling sedikit dua kali bertemu untuk menetapkan awal musim hujan dan kemarau.

Secara internal, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan teratur dan rutin mengupulkan data hujan dari seluruh wilayah di Indonesia, mengolah dan menyajikan sehingga dapat dikaji dan dievaluasi oleh NCOF. Kesepakatan itu menjadi dasar penetapan awal musim, dan tentu akan menjelaskan bahwa Indonesia mempunyai lebih dari 300 ZOM.

Awal musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia diprakirakan dimulai pada November dan Desember. Kondisi “normal”, awal musim hujan 2015-2016 diprakirakan mundur (83,5%), sama (14,4%) dan maju (2,1%). Wilayah Indonesia yang sudah memasuki Musim Hujan sampai dengan Oktober 2015 meliputi wilayah Aceh bagian Tengah, sebagian besar Sumatera Utara, Riau bagian Barat dan Jayapura. Sifat Hujan selama Musim Hujan 2015-2016 di sebagian besar daerah yaitu 207 ZOM (60.5%) diprakirakan Normal, dan 99 ZOM (28.9%) akan terjadi Bawah Normal, sedangkan Atas Normal yaitu sebanyak 36 ZOM (10.5%).


Musim Penghujan Datang perlu Antisipasi

Peralihan musim kemarau ke musim penghujan ditandai dengan perubahan arah dan kecepatan angin. Memasuki musim hujan, pumpunan awan banyak terjadi di wilayah selata katulistiwa disebabkan angin berbelok dari utara ke arah tenggara saat mendekati katulistiwa. Di belahan selatan, angin berbelok dari selatan kearah timur laut. Proses perlambatan dan pertemuan keduanya menyebabkan terjadinya wilayah Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ). Dinamika awan yang muncul karena proses konvektif pada wilayah ITCZ ini perlu diwaspadai terutama untuk penerbangan dan pelayaran.

Pada periode transisi, biasanya hujan turun dengan intensitas tinggi disertai dengan petir atau angin yang kencang. Kondisi itu, akan menimbulkan potensi puting beliung atau hujan es bahkan mengakibatkan pohon-pohon tumbang. Sehingga perlu pengaturan pemangkasan pohon-pohon di jalan agar tidak membahayakan.

Datangnya musim penghujan selain memberikan berkah tetapi juga perlu diwaspadai terutama saat puncak musimnya. Untuk wilayah Jabodetabek, puncak penghujan terjadi pada Januari atau Februari.

Catatan peristiwa banjir di Jakarta, pada umumnya terjadi pada puncak penghujan akhir Januari hingga pertengahan Februari. Wilayah Jabodetabek, menarik untuk dilihat yang menjadi obyek penelitian Siswanto (2015) tentang pola hujan di Jakarta. Dan, dipublikasikan bersama 31 artikel ilmiah pada 5 November 2015 yang lalu di Bulletin of the American Meteorological Society (BAMS).

Hasil kajian Siswanto terhadap data hujan di Jabodetabek selama 115 Tahun menunjukan peningkatan secara signifikan dan sukar terprediksi peluang terjadinya hujan dengan intensitas yang tinggi dan frekwensi keterjadian di Jabodetabek. Siswanto menyimpulkan bahwa peluang hujan turun secara ekstrem di Jakarta meningkat dua kali lipat di banding 100 Tahun yang lalu.

Jika potensi ancaman banjir ini digeneralisasi, langkah bijak mengantisipasi yaitu melakukan persiapan disisa waktu menunggu puncak musim, antara lain : pembersihan bantaran sungai, saluran air dan semua penghambat laju aliran. Selanjutnya, untuk mengurangi beban derasnya aliran, perlu diupayakan menambah kemampuan daya serap permukaan dengan membuat gerakan pembuatan embung, sumur resapan dan biopori.  


Andi Eka Sakya, 
Diterbitkan : Koran Sindo, Edisi Rabu 18 November 2015, Hal. 2





Sunday, November 29, 2015

BMKG: Puncak Hujan Januari – Februari 2016



Jakarta, Sains Indonesia - Hujan mulai membasahi Jakarta dan sekitarnya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan puncak musim hujan terjadi sepanjang Januari-Februari 2016. “Kita harus waspada dan mempersiapkan diri,” ujar Andi Eka Sakya, Kepala BMKG di Jakarta (12/11).

Andi mengatakan wilayah Jakarta sekitarnya saat ini telah memasuki masa transisi pergantian musim sepanjang November. Intensitas hujan diperkirakan semakin meningkat dan menemui puncaknya para pergantian 2015 menuju 2016. "Sekarang hujan belum teratur. Kita sedang dalam masa pancaroba," jelasnya.

Daya serap permukaan tanah terhadap air hujan di Jakarta terbilang rendah. Intensitas hujan tinggi cenderung akan menyebabkan banjir. Oleh karena itu, Andi meminta pemerintah dan masyarakat merespon ancaman ini dengan segera. Salah satunya dengan pengaturan dan penataan aliran air sungai, dan memperbanyak sumur biopori.

Persiapan lainnya, menurut Andi, adalah penataan infrastruktur, seperti menguatkan bangunan yang rentan dan memangkas pohon-pohon rimbun. ”Hembusan angin cenderung kencang di masa pancaroba. Hujan lebat datang dengan durasi pendek,” jelasnya. Selain itu, ia juga mengingatkan agar menjaga kesehatan selama masa pancaroba dikarenakan perubahan suhu dan cuaca ekstrem secara tiba-tiba.

Intensitas curah hujan yang terus meningkat, kata Andi, juga terjadi di banyak wilayah Indonesia sejak akhir November seperti di Sumbar, Bengkulu, Jambi, Sumsel, sebagian pulau Jawa dan Sulsel bagian timur. “Dengan naiknya curah hujan, maka ancaman banjir semakin tinggi,” paparnya.

Faris Sabilar Rusydi


BMKG Lepas Tim Ekspedisi Jayawijaya & Antartika


Jakarta, Sains Indonesia -- Untuk mengetahui pengaruh pemanasan global terhadap kondisi iklim dan cuaca Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melakukan dua ekspedisi utama. “Kegiatan ini diharapkan mampu menyibak fenomena perubahan iklim sehingga peringatan dini terhadap bencana bisa dilakukan,” kata Kepala BMKG, Andi Eka Sakya, di Jakarta, Selasa (13/10).


Dalam acara Pelepasan Tim Ekspedisi Puncak Jaya Papua dan Pelayaran ke Kutub Selatan, Kepala BMKG menegaskan bahwa kedua ekspedisi tersebut merupakan masukan untuk dua program utama 2017-2019. Yaitu Year of Maritime Continent(YMC) dan Year Polar Initiative (YPI) di Antartika. “Langkah kebijakan ini juga menjadi bagian dari upaya BMKG dalam bidang penelitian untuk mendukung upaya peningkatan pelayanan meteorologi, klimatologi dan geofisika, serta peningkatan SDM Indonesia,” jelasnya.

Lebih lanjut, Andi Eka Sakya mengatakan jika pola dan fenomena perubahan iklim sudah ditemukan, maka antisipasi dan peringatan dini bisa segera dilakukan, seperti potensi terjadinya banjir, kekeringan, gelombang panas, dan naiknya permukaan laut.

Dua peneliti BMKG, Wido Hanggoro dan Kadarsyah, akan berangkat melakukan pelayaran ke Antartika, Rabu (14/10).  “Ini merupakan pelayaran ke antartika pertama untuk BMKG,” Wido Hanggoro menjelaskan. Mereka membawa misi penelitian untuk mengetahui pengaruh laut terhadap kondisi iklim  dan cuaca Indonesia. Penelitian ini menggunakan simulasi model resolusi tinggi dan pengamatan udara atas menggunakan Light Detection and Ranging (LIDAR), lanjutnya.

Keduanya akan berlayar menuju Stasiun Meteorologi Davis di 68°35’ LS 77°58’ BT. Disana mereka akan bergabung dengan Tim Ekspedisi Bureau of Meteorology (BoM) –Australian Antarctic Division (AAD). Perjalanan ini diperkirakan berlangsung selama enam pekan. “Hasil penelitian dari kedua ekspedisi tersebut akan menjadi sumbangan berharga secara global dan merupakan batu tapak pemahaman hubungan telekoneksi iklim antara wilayah tropis dengan antartika,” jelas Kepala BMKG.

Seperti diketahui bahwa pemahaman kondisi laut sangat penting. Indonesia dipengaruhi oleh Samudera Pasifik dan Hindia. Karenanya, didominasi oleh sirkulasi monsoon dingin Asia dan monsoon panas Australia. “Kedua sirkulasi tersebut sangat berpengaruh pada faktor iklim di Indonesia,”  tambah Kadarsyah.

Pada saat yang sama, Kepala BMKG juga melepas Tim Ekspedisi Jayawijaya 2015. Sebanyak empat orang peneliti BMKG, Dyah Lukita Sari, Ferdika A. Harapak, Najib Habibie, dan Donny Kristianto akan mengamati dan memahami dampak pemanasan global, terutama di wilayah tropis (khatulistiwa).

Ekepedisi Jayawijaya 2015 adalah penelitian ketiga yang diadakan BMKG sejak 2010. Pada dua keberangkatan sebelumnya, terungkap pengaruh pemanasan global terhadap penipisan ketebalan es abadi di puncak Papua. Kegiatan kali ini pun mengusung misi yang sama.

“Penelitian ini akan fokus meneliti perubahan es setiap tahunnya dan menjelaskan dampaknya terhadap iklim di Indonesia,”  terang Ferdika. Ia optimis ekspedisi Jayawijaya akan memberikan kontribusi nyata untuk menyibak korelasi dan keterkaitan terhadap perubahan iklim nasional.

Ketua BMKG menegaskan, alasan pemilihan Puncak Jaya sebagai objek penelitian. Ia dipilih karena mewakili keberadaan lapisan es yang abadi di daerah ekuator. Lapisan es inilah yang dipelajari untuk melihat kronologis perubahan iklim yang terjadi di daerah tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa Puncak Jaya, Papua, merupakan salah satu dari tiga puncak gunung di dearah tropis yang diselimuti lapisan es secara permanen, yaitu puncak Gunung Kilimanjaro di Tanzania dan Puncak Pegunungan Andes, Peru, Amerika Latin.

Seremonial pelepasan tim ekspedisi bertempat di Gd Auditorium BMKG. Jalan Angkasa 1 No, 2 Kemayoran Jakarta. Acara ini seharusnya dilaksanakan pada pukul 09.00 WIB, namun karena alasan teknis, kegiatan ditunda hingga dua jam lamanya.

Rangkaian eskpedisi tersebut merupakan program penelitian dan sekaligus menjadi “batu tapak” kontribusi Indonesia terhadap pemahaman dinamika iklim secara global. “Posisi strategis geografi Indonesia menjadi kunci pemahaman iklim dan perubahannya,” Kepala BMKG menjelaskan.

Hasil penelitian juga diharapkan mampu menyadarkan masyarakat bahwa perubahan iklim bisa mengancam likungan. Melalui tim ekpedisi, BMKG berusaha menemukan solusi, melakukan kampanye kesadaran mengenai isu lingkungan, dan memberi kesempatan semua pihak untuk bekerja sama.

Faris Sabilar Rusdi





Musim Hujan Datang, Banjirkah Jakarta?


MUSIM hujan datang, El Nino dan potensi kebakaran lahan dan hutan menghilang. Banjir menghadang. Banjirkah Jakarta memasuki musim hujan 2015/2016 ini. Banjir di Jakarta sering diasosiasikan dengan kejadian 5 tahun sekali. Pada kenyataannya dalam 10 tahun terakhir, banjir bisa terjadi kapan saja. Tidak berpola : 2002,2007,2013 dan 2014. Tetapi semuanya pada awal tahun.

Tulisan ini tidak membahas tentang dampak banjir di Ibukota, tetapi memberikan gambaran kecenderungan kejadian hujan beberapa tahun terakhir di Ibukota, dilihat dari sisi klimatologis ( sifat rerata cuaca jangka panjang ). Di dalam KBBI, jabaran banjir hanya disebut sebagai : “berair banyak dan deras, kadang meluap” Penjelasan yang “agak” lebih luas diperoleh dari wikipedia : “Peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan”. Paling tidak untuk Jakarta, kita mengenal banjir kiriman, yang airnya mengalir dari daerah pegunungan di sekitarnya disebabkan oleh hujan yang terjadi di wilayah tersebut.
Di Jakarta bisa juga terjadi banjir yang disebabkan terlampauinya “daya-tampung” permukaan Jakarta disebabkan oleh hujan berlebihan. Hujan merata yang terjadi dalam intensitas tinggi dan dalam waktu yang lama, sedangkan “daya –serap” permukaan tanah di Jakarta tidak mampu untuk “menelannya”.

Genangan yang terjadi di berbagai lokasi “menambah” pasokan air sungai-sungai di sekitar Jakarta dan meluap. Banjir jenis ini sering dikategorikan flash flood (banjir kilat, banjir bandang).
Dari data pengamatan, BMKG mencatat bahwa rerata suhu di Jakarta memang cenderung naik, dari 27.3°C pada tahun 1976, naik menjadi 29.4°C pada tahun 2014. Suhu maksimum di Jakarta pada tahun 1976 adalah 31.4°C naik menjadi 34.5°C pada tahun 2014.

Dari data tersebut juga menarik, melihat selisih suhu maksimum dan reratanya ternyata juga semakin tinggi Kenaikan 1°C, memang tidak tinggi. Tetapi dilihat rerata dunia yang hanya 0.7°C dalam 100 tahun, dapat disimpulkan bahwa kenaikan suhu di jakarta melebihi rerata dunia.

Ini semua mengimbas pada pola curah hujan di Jakarta. Di 5 lokasi pengamatan di seluruh Jakarta, yaitu di Cengkareng, Karet, Kemayoran (Stasiun 745), Halim dan Tanjung Priokpada bulan Desember, Januari, Februari dan Maret, menunjukan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun.

Puncak intensitas hujan terjadi pada bulan Januari dan Februari. Kemayoran (stasiun 745) dan Halim menunjukan intensitas curah hujan tertinggi di banding dengan 3 lokasi yang lain. Halim dan Kemayoran bisa menjadi representasi wilayah Jakarta Pusat dan Selatan. Sementara di Tanjung Priok, kenaikan intensitasnya pun tampak terlihat.

Trend menunjukan bahwa “tekanan” hujan di berbagai wilayah di Jakarta semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir. Ini menegaskan bahwa daya-serap permukaan tanah di Ibukota tidak cukup mampu untuk “menyerap” hujan yang intensitas-nya selalu menaik dan menjelaskan mengapa mudah sekali terjadi genangan di Jakarta.

Bagaimana “serangan” dari daerah “penyangga” di sekitar Jakarta? Menilik kecenderungan jumlah hari hujan di Citeko selama 30 tahun, kenaikannya juga signifikan. Betapapun fraksi hari hujan dengan intensitas tinggi tidak menunjukan kenaikan yang signifikan yang bermakna bahwa kenaikan frekwensi “banjir kiriman” tidak begitu tinggi.

Namun demikian, kecenderungan kenaikan hari-hari hujan di atas 20 mm/hari, cukup untuk “menjadi” peringatan dini bagi warga Jakarta yang menerima limpahan hujan tersebut.

Sangat disyukuri bahwa statistik jumlah korban meninggal akibat banjir di Jakarta berkurang dari tahun ke tahun. Data korban meninggal karena banjir dari BPBD DKI menunjukan penurunan yang nyata, dari 48 jiwa pada tahun 2007 dapat ditekan menjadi 6 orang pada tahun 2015.

Demikian pula melihat kesiapan yang telah dilakukan oleh Pemda DKI. Mulai dari optimalisasi sistem peringatan dini, penyiapan komunikasi berantai dari sms hingga jejaring sosial, kesiagaan PUSDALOPS. Pengerukan sungai-sungai juga terlihat sigap. Bahkan lebih jauh, secara struktural, Pemda DKI pun telah bersiap dengan melebarkan “daya tampung aliran” dengan penataan bantaran sungai.

Dari laporan yang disampaikan pada beberapa pertemuan, BPBD dan pemda DKI telah mendorong “gerakan” biopori dan sumur resapan, serta memperdalam embung dan perbanyakan tandon air.

Sementara untuk menyerap genangan, pompa-pompa pun telah diaktifkan. Ini pun dilengkapi dengan kesiapan di sisi masyarakat.
Belajar dari tren gejala Klimatologis yang terjadi, Siswanto (2015) dalam kajian doktornya menegaskan bahwa Jakarta menghadapi tantangan meningkatnya intensitas curah hujan 2 (dua) kali lipat dibanding 100 tahun silam. Jika dalam data hujan di wilayah Puncak dan sekitarnya juga menunjukan kenaikan, sementara di Jakarta sendiri trend kenaikan curah hujan dapat terlihat nyata.

Persoalan ini akan bertambah saat pasang naik. Tampaknya, upaya Pemba DKI perlu terus didukung Karena banjir bukan hanya merupakan persoalan pemerintah daerah semata. Kesiapan dan kesiagaan pada sisi hulu dan hilir, struktur dan kultur, Pemda dan warga, merupakan kesatuan kekuatan ampuh untuk mengurangi tekanan dan ancaman banjir. ( adv )


Sumber : Indopos, 17 Nov 2015 Hal. 2