http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

Tuesday, October 20, 2015

Kepala BMKG seperti Jubir Yang Mahakuasa











JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pemangku kepentingan yang membantu terselenggaranya mudik Lebaran 2015. 

Salah satu ucapan terima kasih itu disampaikan Jonan kepada Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya. Menurut Jonan, Andi merupakan salah satu orang yang penting selama mudik Lebaran 2015, terutama saat erupsi Gunung Raung di Jawa Timur. 

Dari informasi yang diterima Andi, Jonan mengaku bisa mengambil keputusan cepat dalam menutup operasionalisasi bandara karena debu vulkanik Gunung Raung. 

"Kepala BMKG ini seperti jubir Yang Mahakuasa. Kalau beliau SMS mau jam berapa, pasti saya baca. BMKG tidak bisa mengubah gunung itu meletus atau tidak. Sebaran abu juga tidak bisa diubah. Saya terima kasih sekali ini BMKG, sangat terima kasih," ujar Jonan di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Selasa (28/7/2015).

Menurut Jonan, informasi apa pun dari BMKG saat erupsi Gunung Raung teramat penting. Pasalnya, kata dia, apabila salah memberikan informasi, misalnya arah angin, maka debu vulkanik Gunung Raung bisa membahayakan penerbangan.

"Kita tidak mungkin melakukan penanganan penerbangan (tanpa informasi BMKG), sangat sulit. Yang ditakutkan bukan gunung, melainkan airlines. Kalau Bapak (Andi Eka Sakya) salah info, risikonya lebih besar," kata Jonan sembari tertawa. 

Selain berterima kasih kepada BMKG, Jonan juga berterima kasih kepada Badan SAR Nasional (Basarnas), Angkasa Pura I dan II, Damri, Jasa Raharja, dan semua pemangku kepentingan yang membantu terselenggaranya mudik Lebaran 2015.


BMKG Kirim Peneliti ke Antartika dan Puncak Jaya





INILAHCOM, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengirim enam orang peneliti ke Antartika dan Puncak Jaya Papua. Tujunannya untuk memahami kondisi iklim dan cuaca Indonesia.

Kepala BMKG, Andi Eka Sakya mengatakan Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, dengan lebih dari 70% wilayahnya merupakan wilayah lautan, iklimnya sangat dipengaruhi oleh sirkulasi monsoon panas Autralia yang terjadi pada April hingga September dan sirkulasi monsoon dingin Asia yang terjadi pada Oktober hingga Maret.

Hal ini menyebabkan pemahaman terhadap kondisi laut menjadi sangat penting mengingat Indonesia dipengaruhi oleh Samudera Pasifik dan Hindia.

"Guna memahami pengaruh laut terhadap kondisi iklim dan cuaca Indonesia, maka dilakukan penelitian," katanya di Jakarta, Rabu (14/10/2015).

Ia mengatakan, dua peneliti yakni Wido Hanggoro dan Kadarsah hari ini berangkat melakukan pelayaran menggunakan kapal riset ke Stasiun Meteorologi Davis di Kutub Selatan bersama tim ekspedisi Bureau of Meteorology (BoM) Australian Antarctic Division (AAD).

"Tim ini akan mengumpulkan dan analisa data kondisi laut menggunakan berbagai alat dan data observasi. Simulasi model meteorologi resolusi tinggi dan pengamatan udara atas menggunakan Light Detection and Ranging (LIDAR) yang difokuskan di Stasiun Meteorologi Davies," ujarnya.

Kemudian, untuk empat peneliti lain yakni Dyah Lukita Sari, Ferdika A Harapak, Najib Habibie, dan Donny Kristianto berangkat ke Puncak Jaya Papua untuk melakukan ekspedisi penelitian guna memahami dampak pemanasan global di wilayah khatulistiwa.

"Penelitian ini merupakan kerjasama BMKG dengan Ohio University, Colombia University danFreeport, yang dilakukan untuk ketiga kalinya sejak tahun 2010," kata dia.

Ia menjelaskan, ekspedisi penelitian ini merupakan program penelitian dan sekaligus menjadi batu-tapak kontribusi Indonesia terhadap pemahaman dinamika iklim secara global. Posisi strategis geografi Indonesia menjadi kunci pemahaman dinamika iklim dan perubahannya.

"Nanti hasil penelitian itu akan menjadi sumbangan yang sangat berharga secara global dan merupakan batu-tapak pemahaman hubungan telekoneksi iklim antara wilayah tropis dengan antartika," jelas dia. [ind]

Oleh : Ahmad Farhan Faris | Rabu, 14 Oktober 2015 | 17:45 WIB
 

BMKG Menangkap Manfaat Alam

















REPUBLIKA.CO.ID, “Alam memberikan kemampuan, keberuntungan melengkapinya dengan peluang dan kesempatan.” (Francois de la Rochefoucauld 1613-1680, penulis klasik Prancis).

Akhir Juli 2015. Ignasius Jonan pasang wajah sumringah di hadapan para wartawan. Menteri Perhubungan itu senang lantaran angka kecelakaan mudik 2015 menurun. Rasa terimakasih pun dia sampaikan kepada sejumlah pihak, salah satunya untuk BMKG.

Jonan bilang BMKG punya andil penting dalam pengamanan mudik lebaran. Dia mencontohkan saat erupsi Gunung Raung di Jawa Timur berlangsung, kepala BMKG tidak henti mengirimkan pesan singkat kepadanya. Sejumlah informasi penting seperti arah dan kecepatan angin di sekitar kawasan Gunung Raung menjadi pijakan Jonan mengambil kebijakan. “Kepala BMKG ini seperti juru bicara Yang Maha Kuasa. Saya terimakasih sekali,” kata Jonan di kantor Kementerian Perhubungan (28/7) lalu.

Kepala BMKG Andi Eka Satya merasa tidak pantas mendapat pujian dari Jonan. Kepada Republika, Kamis (7/8) malam, Andi mengaku hanya berusaha melaksanakan tugas. Andi menjelaskan debu vulkanik yang disemburkan Gunung Raung bisa membahayakan pesawat terbang. Sehingga memberi informasi akurat tentang arah angin dan sebaran debu menjadi keharusan yang tak bisa dia abaikan.

“Informasi itu diberikan kepada pejabat berwenang, supaya mereka melakukan proses evakuasi untuk mitigasi dan risiko bencana,” kata Andi.

Andi mengatakan BMKG memang punya fungsi strategis dalam banyak bidang. Bukan sekadar menginformasikan kondisi cuaca untuk kepentingan dunia penerbangan. BMKG juga berfungsi sebagai pemberi peringatan dini bencana alam, pengefektifan penanganan bencana alam, mewujudkan swasembada pangan, dan menunjang sejumlah program nasional yang dicanangkan pemerintah.

Apa yang disampaikan Andi sejalan dengan harapan Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo. Dalam Rapat Koordinasi Nasional BMKG di Jakarta Selasa (5/5), Indroyono mengatakan BMKG bisa meningkatkan peluang penghasilan petani. Caranya dengan membantu petani mengatur musim tanam yang tepat. Hal ini untuk mengurangi potensi kerugian petani yang diakibatkan faktor perubahan cuaca.

“BMKG harus lebih berperan pada prioritas nasional, terutama di sektor-sektor yang sangat peka terhadap cuaca dan iklim, seperti kedaulatan pangan, energi, dan kemaritiman,” kata Indroyono dalam pidato pembukaannya.

Tidak cuma berguna bagi petani. Informasi prakiraan cuaca dan iklim yang disajikan BMKG juga bermanfaat untuk pemerintah. Indroyono mengatakan informasi BMKG bisa dimanfaatkan pemerintah untuk menyusun langkah adaptasi dan kebijakan antisipasi yang diakibatkan dampak buruk cuaca maupun iklim. Bahkan, imbuh Indroyono, informasi BMKG juga bisa dimanfaatkan oleh nelayan dan para pemangku kepentingan pariwisata. Nelayan misalnya bisa mengetahui kapan saat yang tepat melaut. Sedangkan wisatawan bisa mengetahui kapan waktu terbaik berselancar di atas gelombang laut.

Lalu bagaimana BMKG bekerja menjalankan semua fungsinya? Andi menjelaskan lingkup kerja instansinya terbagi dalam tiga bidang: meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Andi menjelaskan bidang meterologi meliputi prakiraan cuaca, citra satelit, prakiraan angin, potensi banjir, dan kebakaran hutan. Segala informasi tersebut sangat penting bagi dunia pelayaran dan penerbangan.

Di bidang klimatologi BMKG meneliti hal yang tidak jauh berbeda dengan meteorologi. Bedanya, kata Andi, masa prakiraannya jauh lebih panjang, dia mencontohkan prakiraan iklim dan musim selama beberapa bulan. Aspek ini sangat berguna bagi para petani.

Bidang terakhir yang tidak kalah penting adalah geofisika. Di sini, kata Andi, BMKG meneliti segala aspek yang berkaitan tentang potensi gempa bumi dan tsunami. Nantinya informasi yang diterima BMKG akan diteruskan langsung ke masyarakat sebagai bentuk peringatan dini terhadap potensi bencana.

Andi mengatakan BMKG terus berupaya memudahkan masyarakat mengakses informasi-informasi dari BMKG. Dia menyebutkan saat ini masyarakat bisa mendapatkan informasi prakiraan cuaca di situs http://bmkg.go.id atau melalui sms ke nomor 2303, dan aplikasi android di smartphone. Andi menambahkan BMKG juga menjalin kerjasama dengan operator seluler dan media massa. Kerjasama dilakukan untuk mempercepat penyebaran informasi tentang daerah yang trawan bencana atau yang telah dilanda bencana.
“Sehingga bantuan dan upaya penyelamatan bisa segera dilakukan,” kata Andi.

Kendati begitu Andi mengakui BMKG masih memerlukan banyak pembenahan. Dia mengungkapkan kualitas perangkat teknologi yang digunakan BMKG belum memadai. Jika dibandingkan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, perangkat teknologi BMKG sudah tertinggal. “Padahal teknologi berperan penting dalam akurasi prakiraan cuaca,” katanya.

Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya informasi cuaca, iklim, dan musim belum sepenuhnya tumbuh. Untuk itu BMKG terus menggelar sosialisasi di masyarakat. Andi mengatakan sejak 2011 telah mengadakan Sekolah Lapangan Iklim (SLI) di 25 provinsi. Peserta program ini terdiri dari petani, penyuluh, dan masyarakat.

Andi mengatakan SLI tidak hanya bertujuan membuka wawasan petani tentang iklim dan cuaca. Tapi juga tentang berbagai tumbuhan alternatif yang bisa mereka tanam di musim-musim tertentu. Andi mengklaim program ini berhasil meningkatkan produksi panen sekitar dua sampai 30 persen.

“Kawan-kawan petani sudah mulai memahami dan sadar kondisi prakiraan panjang musim kering. Dengan begitu mereka tau cara menyikapinya. Tanaman beras misalnya diganti dengan palawija,” papar Andi.

Saat ini BMKG juga telah memiliki Sekolah Tinggi Meteorologi dan Geofisika. Dari sekolah itu Andi berharap kesadaran masyarakat tentang pentingnya informasi cuaca, musim, iklim, dan pergerakan terus meningkat. Sehingga segala peluang yang disediakan alam bisa termanfaatkan secara optimal.



El Nino Juga Berikan Dampak Positif



JAKARTA - Fenomena El Nino ternyata tak hanya menimbulkan dampak negatif di sejumlah wilayah di Indonesia. Namun, juga memiliki dampak positif bagi beberapa sektor.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Andi Eka Sakya mengatakan, dampak yang positif yang muncul yakni meningkatkan panen ikan untuk para nelayan serta panen garam.

"Jadi, El Nino ini ada proses pendinginan di lautan. Maka proses penumbuhan klorofil, ada panen ikan yang berlimpah. Kedua proses kekeringan, tambak garam akan meningkat saat memanen garam. Ini akan terjadi di bulan Agustus dan September ini," ujar Andi di Kantor BMKG, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (30/7/2015).

Namun demikian, Andi tetap mengingatkan kepada semua pihak untuk tetap waspada dengan dampak El Nino yang diprediksi berkepanjangan. Pasalnya, dampak negatif dari fenomena tersebut ada di berbagai bidang, seperti kesehatan, kehutanan, dan pertanian yang paling utama.

Kekeringan Melanda Brasil

"Ada dampak kesehatan terkait demam berdarah dan kurangnya ketersediaan air bersih. Lalu di bidang kehutanan, kita banyak lahan gambut, itu akan mudah terbakar yang menyebabkan kebakaran hutan," terangnya.

Seperti diketahui, ada sejumlah daerah di Indonesia telah mengalami kekeringan lantaran kemarau berkepanjangan yang diduga akibat fenomena El Nino. Wilayah tersebut yakni meliputi Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. (Ari)

Sekolah Lapang Iklim Perkuat Ketahanan Pangan

BOGOR - Sesuai judulnya, Sekolah Lapang Iklim (SLI) merupakan sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang bertujuan untuk menjembatani peningkatan pemahaman mengenai informasi iklim bagi para petugas di lingkungan Dinas Pertainan Daerah, Penyuluh dan petani yang tersebar di seluruh Nusantara.

“Jika disederhanakan, manfaat yang akan dirasakan oleh petugas Dinas Pertanian Daerah, penyuluh dan petani yang mengikuti Sekolah Lapan Iklim adalah untuk memahami dan memanfaatkan informasi iklim secara efektif dalam mendukung pertanian. Dalam perspektif lain, Sekolah Lapang Iklim ini menjadi wahana untuk menyesuaikan produk informasi iklim dengan kebutuhan penggunanya,” kata Andi Eka Sakya Kepala BMKG kepada Okezone.

Sekolah Lapang Iklim ini telah diselenggarakan BMKG sejak tahun 2011 hingga sampai saat ini. Kini 33 provinsi yang mengikuti Sekolah Lapang Iklim telah merasakan manfaat manis dari kegiatan yang di fasilitasi oleh Badan Penyuluh Pertanian dan Prakirawan Iklim dari BMKG tersebut. Rata-rata, produksi panen dapat meningkat 20 hingga 30 persen.

Secara tradisional, kegiatan ekonomi produktif petani dapat dikaitkan dengan lahan tempat melakukan kegiatan, pupuk untuk kesuburan, benih tanaman untuk produksi dan terakhir irigasi untuk kebutuhan pasokan airnya.

Kepastian perubahan dan variasi iklim memastikan petani pada keharusan untuk memahami gejalanya. Untuk itu, Penyuluh pertanian mempunyai peran penting dalam menerjemahkan data tersebut menjadi informasi iklim yang berguna dan bermafaat bagi para petani untuk memutuskan jenis komoditas dan waktu tanamnya.

“Jika dulu secara tradisional bisa berpatokan pada hari dan bulan, sekarang harus berpatokan dengan data, yaitu pola curah hujan di wilayahnya. Data tersebut diperoleh dari pengukuran harian agar diperoleh karakteristik curah hujan di lokasi bersangkutan. Tentu saja, untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang kondisi dan cuaca di lokasi tersebut, tidak hanya curah hujan yang diukur dan dicatat, tetapi juga semua parameter cuaca, seperti radiasi matahari, tekanan, kelembaban, suhu, kecepatan dan arah anginnya,” papar Andi.

Keberhasilan SLI yang dinisiasi oleh BMKG juga telah dilirik oleh Badan Meteorologi Dunia WMO (World Meteorological Organization), sebagai salah satu ikon pelayanan iklim dalam proses adaptasi perubahan iklim.

Karena menurut WMO, SLI atau CFS (Climate Field School) yang dilakukan BMKG sejalan dengan salah satu program WMO, yaitu (Global Framework for Climate Services) jika diartikan adalah Kerangka global Layanan Iklim. Imbasnya, BMKG dipercaya untuk kedua kalinya menjadi tuan rumah penyelenggaraan Training of Trainers Course on Climate Field School for Asia Pacific (TOT CFS).

“Tahun 2015 ini, untuk kedua kalinya BMKG mendapat kepercayaan menyelenggarakan Training of Trainer Course on Climate Field School untuk negara-negara Asia Pasifik yang bertempat di pusat pelatihan regional di Citeko, Bogor,” sebutnya.

Yang mana tujuan dari TOT CFS ini adalah berbagi pengalaman Indonesia tentang praktik Sekolah Lapang Iklim kepada negara-negara di Asia Pasifik, dalam rangka mendukung ketahanan pangan serta meningkatkan produksi pertanian melalui praktik adaptasi terhadap fenomena perubahan iklim di negara masing-masing.

Dalam kegiatan TOT ini, diajarkan tentang teknik dan simulasi cara menerjemahkan istilah-istilah teknis dalam muatan informasi iklim dari ke dalam bahasa sehari-hari yang digunakan di lapangan sehingga mudah dipahami oleh petani.

Peserta program TOT ini terdiri dari 17 orang dari delegasi dari negara-negara Filipina, Myanmar, Thailand, Vanuatu, Vietnam, Timor Leste, dan Indonesia.

Saat ini kegiatan TOT CFS tengah berlangsung, yang mana acara tersebut diselenggarakan selama 4 hari dari tanggal 25 sampai 28 Agustus 2015. TOT CFS dibuka oleh Kepala BMKG, Dr Andi Eka Sakya, M.Eng, dengan narasumber dari dalam dan luar negeri.

Materi yang diberikan di antaranya antara lain meliputi pemahaman tentang informasi iklim, pengenalan peralatan meteorologi sederhana, kalender tanam dan indeks iklim untuk asuransi pertanian. Dalam kegiatan ini juga dilaksanakan kunjungan ke Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor dan ke lokasi SLI di Kabupaten Serang, Banten. (adv)


(fmi)


El Nino Menguat, Kemarau Diperkirakan Hingga November


JakartaCNN Indonesia -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengatakan fenomena El Nino diprediksi akan menguat mulai Agustus hingga Desember 2015.

Tren penguatan El Nino 2015 ini ditunjukkan oleh kenaikan indeks El Nino Southern Oscillation (ENSO) dari 1,6 pada Juni menjadi 2,2 pada Desember 2015. 

Panjangnya musim kemarau di berbagai tempat di Indonesia, terutama si sebelah selatan khatulistiwa diduga merupakan dampak dari fenomena El Nino yang kini telah mencapai level sedang.

"Daerah-daerah di Indonesia yang berpotensi terkena dampak El Nino 2015 meliputi Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Sulawesi Selatan (Sulsel)," kata Andi saat konferensi pers di gedung BMKG, Jakarta, Kamis (30/7).

Jawa, Sulsel, Lampung, Bali, NTB, dan NTT telah mengalami hari tanpa hujan berturut-turut yang sangat panjang. Andi mengatakan wilayah-wilayah tersebut sudah kering sejak Mei 2015 sesuai dengan pantauan Peta Pemantauan Hari Tanpa Hujan milik BMKG. (Baca juga: Kekeringan Landa Delapan Provinsi di Indonesia)

"NTB dan NTT telah memasuki musim kemarau sejak Maret 2015 dan diprediksi berlangsung hingga November 2015. Sementara Jawa memasuki musim kemarau sejak April 2015 dan diprediksi berlangsung hingga Oktober 2015," katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan fenomena El Nino yang memengaruhi panjang kemarau 2015 ini selanjutnya dapat menyebabkan awal musim hujan 2015/2016 di beberapa daerah mengalami kemunduran. 


"Musim hujan 2015/2016 di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi akan mulai pada bulan November atau Desember," kata Andi.

Hal ini kemudian berdampak pada panjangnya masa panceklik atau gagal panen. Pada sektor kehutanan, El Nino dapat berdampak pada kebakaran hutan dan lahan. Sementara, pada sektor kesehatan, El Nino akan berdampak pada kurangnya ketersediaan air bersih dan meningkatnya demam berdarah.

El Nino merupakan gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik sekitar katulistiwa khususnya di bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru). (Baca juga: Defisit Air di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara akan Terus Naik)
Hal ini menyebabkan adanya penyimpangan iklim. Dalam laman resmi BMKG dinyatakan, dalam kondisi iklim normal, suhu permukaan laut di sekitar Indonesia umumnya hangat. Ini membuat proses penguapan mudah terjadi dan awan-awan hujan mudah terbentuk. 

Namun saat fenomena El Nino terjadi, perairan sekitar Indonesia umumnya tak seperti biasanya karena suhunya turun. Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran masa udara yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia. Hal ini berdampak pada pengurangan jumlah curah hujan yang signifikan di Indonesia.  (sur)


http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150730155043-20-69137/el-nino-menguat-kemarau-diperkirakan-hingga-november/ ] - Oleh : Yohannie Linggasari, CNN Indonesia Kamis, 30/07/2015 19:05 WIB


El Nino Bukan Gelombang Panas


INILAHCOM, Jakarta - Hasil pantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan El Nino akan menimpa Indonesia pada tahun ini, mencapai puncaknya pada 2 bulan ke depan.

Kepala BMKG Andi Eka Sakya menjelaskan musim kemarau tahun 2015 akan lebih panjang dibandingkan tahun lalu sebagai dampak dari munculnya El Nino dan menyebabkan awal musim hujan 2015/2016 akan mengalami kemunduran.

"Kondisi itu dikarenakan pada tahun ini terjadi El Nino yang telah mencapai level moderat dan diprediksi akan menguat mulai Agustus sampai dengan Desember 2015," ujar Andi kepada wartawan di Kantor BMKG, Jakarta, Jumat (7/8).

El Nino merupakan fenomena alam terkait dengan kenaikan suhu permukaan laut melebihi nilai rerata di Samudera Pasifik sekitar Ekuator yaitu daerah sekitar Chili, Peru, dan Amerika Latin.

Peristiwa itu membawa dampak kekeringan panjang di beberapa daerah di Indonesia terutama Indonesia bagian timur dan daerah-daerah yang terletak di lintang selatan seperti Sumsel, Lampung, Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulsel, dan Papua bagian selatan.

Andi menegaskan El Nino berbeda dengan gelombang panas. El Nino berdampak kekeringan yang memperpanjang waktu musim kemarau. Prakiraan lama waktu dampak bagi Indonesia berkisar 4-5 bulan. Hal itu dikarenakan dampak tersebut dinetralisir oleh musim hujan.

Sementara itu, gelombang panas terkait dengan fenomena cuaca yang diindikasikan oleh kenaikan suhu local secara signifikan dalam waktu singkat. Gelombang panas tidak melewati dan masuk ke wilayah Indonesia yang beriklim tropis, gelombang panas biasanya terjadi di wilayah yang beriklim subtropis di atas lintang 10 derajat baik di utara dan selatan.

"Oleh karenanya, perlu dipahami bahwa El Nino bukan gelombang panas," ujar Andi.

Berbareng dengan munculnya El Nino ini biasanya diikuti dengan mendinginnya suhu mula laut di beberapa wilayah Indonesia, seperti Sumatera bagian barat, Jawa bagian selatan, Sulawesi dan Maluku bagian utara. Selain berdampak pada proses pembentukan awan yang cukup sulit karena proses penguapan rendah, juga sering dirasakan hembusan anginnya pun terasa lebih dingin.

Di balik itu semua, kloropil di wilayah tersebut akan kondusif dan menjadikan potensi panen ikan juga lebih tinggi di wilayah-wilayah tersebut. Tidak semua negatif. Sebaliknya, El Nino membawa dampak positif bagi sektor kelautan karena suhu muka laut di wilayah indonesia dingin sehingga dapat menambah populasi ikan yang nantinya dapat meningkatkan tangkapan ikan.

"Dan juga, kondisi kering yang lebih panjang, meningkatkan potensi hasil garam yang lebih banyak pula," papar Andi. [rok]



[http://nasional.inilah.com/read/detail/2227988/kepala-bmkg-el-nino-bukan-gelombang-panas] - Oleh : Abdullah Mubarok | Jumat, 7 Agustus 2015 | 19:19 WIB

Sunday, October 18, 2015

ElNino, Siapa Takut ?

Andi Eka Sakya

JAKARTA - Musim kemarau panjang yang sedang di alami Indonesia akhir-akhir ini membuat masyarakat mengalami kepanikan yang hebat. Oleh karenanya, masyarakat bertanya-tanya kapan musim kemarau panjang ini akan berakhir?
Mengingat warga di beberapa wilayah mengalami dampak buruk dari kemarau panjang tersebut, seperti gagal panen dan kesulitan mendapatkan air bersih.
Menjawab keresahan masyarakat, Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan bahwa masyarakat tak perlu panik menyikapi musim kemarau panjang di Indonesia, sebab hal tersebut hanya bersifat sementara.
BMKG menjelaskan, bahwa gejala kekeringan tersebut termasuk perubahan iklim biasa yang disebut El Nino. El Nino bukanlah gelombang panas, El Nino juga bukan badai. El Nino merupakan fenomena yang terjadi karena alam melakukan “koreksi” untuk mencari kesetimbangan.
Oleh karenanya, ini merupakan kejadian berulang. Dapat dicatat, sejak dunia ini diciptakan, kekeringan jangka panjang dan hujan silih berganti. Manusia tidak dapat mengubahnya. Umat manusia hanya bisa memitigasi dampak resiko kemunculannya.
“Fenomena El Nino tersebut terjadi karena meningkatnya suhu permukaan laut di wilayah Pasifik Ekuator di sebelah barat Amerika Selatan di atas rerata klimatologisnya. Peningkatan suhu terjadi di wilayah yang sering juga disebut sebagai kolam hangat (warm pool) di Pasifik. Semua negara di dunia, terutama negara-negara yang secara langsung berbatasan dengan Samudera Pasifik, melakukan pengamatan secara serius,” kata Andi Eka Sakya, Kepala BMKG kepada Okezone.
Amerika Serikat (AS) termasuk negara yang paling serius mengamati fenomena ini. Dengan peralatan pengamatannya, Amerika menyediakan peralatan pengamatan global, baik untuk permukaan, maupun sampai ke dalam laut hingga mencapai kedalaman sekitar 500 m.
Hasil pengamatan dari berbagai negara tersebut dibagikan oleh berbagai badan prakiraan iklim dan cuaca untuk melakukan prediksi. Oleh karenanya, angka indeks yang dihasilkan dari pengamatan tersebut unik. Sedangkan, prakiraan ke depannya berbeda satu dengan yang lain, bergantung dari metode yang digunakannya.
Dengan demikian, sering pula ditemui perbedaan angka prakiraan intensitas El Ninotersebut dari masing-masing lembaga karena dihitung dengan metode yang berbeda pula.
Pertama bahwa kemunculan El Nino dengan intensitas kuat berulang: 1957/58, 1965/66, 1982/83 dan 1997/98. Skala angkanya mencapai di atas 2.0 (kuat).
Bagi Indonesia, kejadian El Nino 1997/98 merupakan catatan sejarah yang dapat dijadikan pelajaran: hutan dan lahan terbakar sangat luas, asap menimbulkan problem kesehatan dan bahkan mengganggu negara tetangga, gagal panen (puso) dan impor beras cukup tinggi.
Upaya untuk memitigasi dampak resikonya bukan tidak ada. BMKG mencatat, Kementerian Lingkungan Hidup saat itu bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dengan sigap mengerahkan pesawat Hercules untuk operasi pemadaman. Kejadian El Nino belum terprediksi dengan kapasitas seperti saat sekarang.
Kedua, El Nino membawa dampak kekeringan. Kekeringan tersebut berimbas pada banyak sektor, terutama lingkungan hidup, kehutanan dan pertanian/perkebunan. Kendati pun, data FAO (2000) menunjukkan bahwa jumlah tuna meningkat sebagai akibat “mendinginnya” suhu muka laut di sekitar Indonesia yang sangat kondusif bagi pertumbuhan plankton dan menjadi “kolam” ikan yang potensial.
Kekeringan di pihak yang lain juga memberikan “ruang” bagi petambak garam untuk menangguk panen yang berlebih. Walau pun di sektor kelautan, perubahan suhu di lautan berpotensi merusak terumbu karang yang ada.
Ketiga, sejarah dan juga catatan rinci perulangan El Nino ini menunjukkan bahwa tidak seluruh Indonesia terkena dampaknya. Catatan global menunjukkan bahwa Sumatera bagian Tengah dan Utara tidak terkena secara langsung dampak El Nino.
Beberapa wilayah Kalimantan demikian juga. Pada intensitas El Nino yang kuat, justru daerah Jawa, Bali, NTB dan NTT sangat terdampak. Demikian pula, Sulawesi bagian Selatan, Maluku dan sebagian Papua bagian Selatan.
Mencermati peta wilayah terdampak tersebut, dapat dilakukan mitigasi yang lebih efektif, efisien dan optimal. Di wilayah yang tidak terdampak, produksi dan manajemen distribusi logistik serta memasok kebutuhan daerah terdampak ditingkatkan. Sedangkan, pada wilayah terdampak dilakukan antisipasi untuk memitigasi resiko negatifnya di berbagai sektor.
Keempat, Indonesia beruntung, karena menjelang Oktober/Nopember angin monsun berbalik karena perputaran matahari. Angin ini mengimbas kelaziman datangnya musim hujan.
Sehingga kekeringan tidak berkepanjangan, meski El Nino akan menunda kedatangan awal musim hujan, tetapi awal musim hujan dapat dipastikan kehadirannya. Hal ini, selain meyakinkan bahwa kekeringan tidak berkepanjangan juga dapat mendorong perencanaan tanam dan pencarian alternatif antisipasi secara lebih terkelola.
Kelima, peristiwa El Nino sejak 1930-an menunjukkan juga kemunculan La Nina. Sebuah fenomena alam kebalikan El Nino. Dan, bagi Indonesia, berarti hujan berlebihan. Perulangan tersebut, menunjukkan pula bahwa El Nino terjadi dalam jangka pendek (4 – 5 bulan), sementara La Nina berjangka lebih panjang (12 bulan).
Jika demikian, maka saat El Nino tiba, juga menjadi papan start untuk membenahi drainase, saluran, kanal banjir dan juga penyiapan embung-embung atau sumur resapan manakala nanti “limpahan air” akan tiba. Tandon air yang berlimpah, dapat digunakan untuk menghadapi kemarau berikutnya.
“Saat Nabi Nuh menerima perintah untuk membangun kapal, dibutuhkan waktu lebih dari dua tahun bagi “alam” sebelum masuk pada pola hujan yang berlebihan. Kekeringan yang dimimpikan oleh teman sepenjara Nabi Yusuf, mengindikasikan kekeringan terjadi tujuh tahun ke depan. Jangan-jangan memang begitulah alam mengajar kita untuk menata-kelolakan perencanaan menghadapi fenomena alam melalui siklus yang berulang. Oleh karenanya, El Nino tidak usah membuat terkejut. Apalagi kecut. Antisipasi dan kesiagaan mendorong agar kita tidak kalut. Untuk itu, El Nino datang, siapa takut!,” tutup Andi.
(raw)