Thursday, December 11, 2014

Climate Literacy dan Kedaulatan Pangan


Andi Eka Sakya (Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika)

Wakil Presiden, JK, saat melakukan "e-blusukan" ke BMKG tanggal 21 November yang lalu, mengatakan: "Sehabis asap, datanglah hujan". JK benar. Bulan Oktober kita lewati dengan persoalan asap di wilayah Sumatera, mulai dari Riau hingga Sumsel. 

Memasuki Nopember, kita sudah dikejutkan dengan banjir bandang di Aceh, kemudian Padang. Di Jakarta, sebagian orang merasa gerah dengan temperatur yang "terasa" sangat panas. Di wilayah lain Jakarta, Kampung Pulo sudah mulai disibukkan oleh banjir yang mulai melanda, berbareng dengan masuknya musim hujan di Jabodetabek bulan ini. Pada hal sebagian warga masyarakat Indonesia, terutama di beberapa wilayah Nusa Tenggara, belum merasakan hujan berturut-turut lebih dari 60 hari (kekeringan). Apa yang terjadi?

Perubahan dan Variabilitas
IPCC dalam laporannya yang ke lima (AR5) dan telah diterbikan awal tahun ini mencatat kenaikan suhu permukaan bumi mengarah pada 2 derajat Celsius. Kelompok Kerja (WG3) dari IPCC, lebih lanjut, menjelaskan tentang potensi dampak yang ditimbulkan di berbagai sektor-sektor pembangunan yang peka terhadap iklim, mulai dari pertanian, perikanan, kesehatan, perhubungan, pariwisata, dan lain sebagainya.
Di Jakarta, catatan BMKG menunjukkan bahwa memang terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 1976, suhu rata-rata tahunan di Jakarta "hanya" 27.3 derajat Celsius, sementara pada tahun 2013 tercatat naik menjadi 29.2 derajat Celsius. Kenaikan 1,9 derajat jelas bukan tanpa konsekuensi. Karena, kenaikan suhu tersebut bukan hanya di Jakarta saja, tapi juga di seluruh Indonesia yang masing-masing mempunyai karakteristiknya sendiri-sendiri. Misalnya, dalam 30 tahun terakhir ini, kenaikan suhu rata-rata permukaan di wilayah Propinsi Banten saja mencapai 1.3 derajat C.
Perubahan ini bukan tanpa konsekuensi. Peragi (Perhimpunan Agronomi Indonesia) dalam pertemuannya di Solo tanggal 13 November yang lalu, mengatakan Indonesia perlu melakukan langkah-langkah Adaptasi Perubahan Iklim, karena kenaikan suhu yang mencapai 2 derajat C akan mempengaruhi kegagalan tumbuh benih hingga 50%.
Lebih jauh lagi, membandingkan curah hujan normal selama 30 tahun terakhir, antara tahun 1970 - 2000 dengan 1980 - 2010, ternyata menunjukkan fakta-fakta yang menarik. Pertama, terjadi pola pergeseran awal musim hujan yang berbeda di satu propinsi satu dengan propinsi yang lain di Indonesia, demikian juga di kabupaten satu dengan kabupaten yang lain. Data ini bisa dilihat melalui situs web BMKG (www.bmkg.go.id) di laman informasi iklim. Rupanya tidak hanya pergeseran awal musim yang terjadi, variasi curah hujannya pun berubah!
Di Bali, misalnya, walaupun suhu maksimum rata-rata di Ngurahrai naik dari 24 derajat C di tahun 1974 menjadi sekitar 25 derajat C pada tahun 2013, tetapi di Sanglah kenaikan suhu maksimumnya tidak signifikan walaupun jaraknya relatif tidak begitu jauh. Trend pergeseran awal musim hujan di wilayah Bali bervariasi. Di Baturiti berbeda dengan di Negara, Tampaksiring dan Ngurahrai. Trend variasi hujannya pun berbeda. Jumlah hujan per tahun di Baturiti menunjukkan trend yang tetap, sekitar 3000 mm, sementara di Ngurahrai juga demkian, yaitu 2000 mm, dan Besakih antara 3500 mm. Yang menarik, ternyata dalam 30 tahun terakhir, jumlah hari hujan di Ngurahrai, Baturiti dan Besakih menunjukkan trend menurun. Hal ini menunjukkan bahwa, trend hari-hari terjadinya hujan lebat di ke tiga wilayah tersebut di Bali, menunjukkan kenaikan.
Olahan data iklim yang lain secara lebih mendetil, di Solo misalnya, di daerah Jumantono dengan Adi Sumarmo ternyata menujukkan pergeseran awal musim yang berubah, dengan trend hujan yang berbeda pula.
Siswanto, peneliti BMKG yang saat ini sedang menyelesaikan program S3-nya di Belanda, mencatat bahwa hasil penelitian data hujan di Jakarta dalam 100 tahun terakhir mengkonfirmasi adanya kecenderungan penurunan jumlah hari hujan diikuti dengan menaiknya jumlah hari-hari terjadinya hujan lebat. Dan, ini menggaris bawahi secara jelas potensi banjir di Jakarta pada musijm hujan. Lebih jauh lagi, trend perubahan dan variablitias iklim di atas terjadi dalam waktu yang sangat lambat, sehingga pengamatan sesaat dan jangka pendek tidak akan mampu menunjukkan keterkaitan dampak yang muncul dengan trend yang terjadi.

Climate Literacy (Pembelajaran Iklim)
Pergeseran dan variabilitas iklim yang terjadi, jika dilihat dari sisi sektor - terlebih lagi pada ranah operasi - tentu lebih merepotkan. Misalnya, petani-petani skala kecil masih lebih sering menggantungkan diri pada alam (traditional based), tradisi turun menurun (pranata mangsa) dan bukan pengamatan (observation based). Mereka juga tuna data, lebih lagi jika tidak ada yang memfasilitasi untuk mengakses, menterjemahkan dan membimbing praktek lapangan untuk menjelaskan korelasi terjadinya hujan dengan jenis komoditas tanaman dalam menghadapi perubahan dan variabilitas iklim.
Upaya untuk menjembatani para pelaku di lapangan (baca: petani) bukan tidak ada dan bahkan telah dilakukan melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI). Kegiatan ini utamanya menjembatani 3 pihak: BMKG, Penyuluh Pertanian dan Petani di lapangan untuk bersama-sama memahami perubahan yang terjadi berbasiskan pengamatan lokal.
Di dalam kegiatan ini, yang juga dibantu oleh Perguruan Tinggi (IPB), pada tahap awal mengajak petani untuk semakin mendasarkan keputusan tanamnya pada pengamatan parameter cuaca dan iklim. Bersama para penyuluh, hasil pengamatan tersebut diterjemahkan dalam perspektif keterkaitan agroekosistem. Tahap berikutnya, petani diajak untuk berdiskusi memilih komoditas yang tepat berdasarkan data yang diamati. Berbareng periode pertumbuhan, petani selalu diajak untuk mencatat data, mengkorelasikannya dengan kondisi lingkungan dan mencatat berbagai perubahan. Hasil testimoni dalam 3 tahun terkahir ini, menunjukkan bahwa rata-rata kenaikan produksi panen berdasarkan observation based farming mencapai 30%. Pengakuan ini dapat diperoleh dari petani di Kalimantan Selatan, Jembrana, Tangerang, Nusa Tenggara Barat untuk tanaman padi dan jagung.
Kegiatan Sekolah Lapang Iklim ini oleh Badan Meteorologi Dunia (WMO) diakui sebagai terobosan dan contoh riil dalam menggalakan dan mengkampanyekan Kerangka Global Pelayanan Iklim (Global Framework for Climate Services - GFCS). Oleh karenanya, pada bulan Agustus yang lalau, menyusul terpilihnya Indonesia sebagai Presiden WMO untuk Wilayah negara Asia Selatan dan Pasifik, WMO mendukung diselenggarakannya Sekolah Lapang Iklim (Climate Field School) untuk ASEAN dan Negara-negara Kepulauan Pasifik. Penyelenggaraan ToT untuk ASEAN dan Negara Kepulauan Pasifik tersebut juga berbareng dengan SLI di Propinsi Banten di Tangerang (Ref. situs WMO). Belajar dari masukan yang diperoleh WMO mengajak FAO dan Indonesia bersama-sama dengan beberapa negara berkembang lainnya untuk memberikan Technical Briefing dalam kaitannya Climate Literacy dan Sekolah Lapang Iklim pada minggu ini di COP XX yang diadalkan di Lima, Peru.
Perubahan dan variabilitas iklim merupakan sebuah keniscayaan berbareng dengan terjadinya pemanasan global. Kegigihan dan keliatan petani skala kecil (small scale farmers) telah terbukti mampu menghadapi berbagai tantangan lokal (GIAH, 2008), terlepas dari keterbatasan akses teknologi (benih, irigasi) dan aktivitas produksinya (lahan). Peningkatan 30 % produksi panen dengan mengedukasi petani dalam keaksaraan iklim (climate literacy) dan menggeser paradigma traditional based farming menjadi (climate) observation based farming akan semakin memperkokoh posisi mereka dalam mendukung upaya peningkatan kedaulatan pangan dan upaya swasembada beras Indonesia di tahun 2017. SEMOGA.

2 comments:

Unknown said...

Pak Andi, Masih ngajar di ITI ?
lagi surfing ga sengaja nemu blog ini.. ternyata bapak blogger juga ya ..

Salam

Chepy Amiraga (Informatika ITI 2000)

Andi Eka Sakya said...

Sudah tidak sejak saya menjadi Kepala BMKG Tahun 2013. Waktunya tidak memungkinkan.

Salam dan sukses,

AES