http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

Tuesday, April 4, 2017

BMKG LUNCURKAN OCEAN FORECAST SYSTEM UNTUK PANTAU CUACA DI LAUT



Foto Menko Luhut hadiri peluncuran OFS (Helda-detikcom)

Jakarta – Indonesia merupakan negara maritim yang sangat membutuhkan informasi cuaca laut. Untuk itu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meluncurkan informasi OFS (Ocean Forecast System).

Pernyataan itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di acara launching yang berlangsung di gedung BMKG, Jalan Angkasa, Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Jumat (31/3/2017). Luhut mengaku bangga atas fasilitas yang diluncurkan oleh BMKG tersebut.

“Terus terang saya bangga melihat fasilitas itu kelasnya kelas dunia,” ujar Luhut.

Sebelum sistem OFS diluncurkan, BMKG telah memiliki sistem peringatan dini cuaca di bidang kemaritiman, namun informasi itu hanya terkait gelombang tinggi air laut. Guna meningkatkan informasi terkait bidang kemaritiman tersebut, BMKG membangun OFS pada tahun 2016 dan secara resmi diluncurkan hari ini.

“BMKG hari ini sudah meresmikan fasilitas mereka yang baru,” katanya.

Melalui sistem OFS ini, masyarakat tidak hanya bisa memperoleh informasi mengenai gelombang tinggi air laut. Informasi mengenai arus, suhu, salinitas per lapisan kedalaman dan informasi trajectory yang dapat dimanfaatkan untuk monitoring tumpahan minyak di laut serta mendukung operasional Search and Rescue (SAR) juga bisa didapatkan.

Informasi sistem OFS ini tersedia selama 24 jam dan memberikan informasi cuaca laut hingga tujuh hari ke depan. Selain itu informasi ini juga bisa diakses oleh public melalui alamat website peta-maritim.bmkg.go.id/ofs.

Menko Luhut Apresiasi Kinerja BMKG

Selain meresmikan sistem OFC, Luhut dalam kunjungannya juga sempat mengunjungi Tsunami Early Warning System (Sistem Peringatan Dini Tsunami). Luhut juga mengapresiasi kinerja BMKG.

“BMKG dalam waktu tidak lebih dari lima menit sudah bisa memberikan laporan atau breaking news kalua ada tsunami misalnya, itu di seluruh Indonesia, jadi saya mengapresiasi” kata Luhut.

Luhut juga mengapresiasi kinerja BMKG di bidang geofisika yang mampu mendeteksi uji coba ledakan nuklir yang pernah terjadi sebelumnya di Korea Utara tahun lalu. Selain itu, di bidang Climate Early Warning System (sistem peringatan dini iklim), menurut Luhut, informasi yang diberikan oleh BMKG juga mampu membantu pemerintah.

“Prakiraan cuaca dan iklim saya lihat bagus. Bisa membantu pemerintah di dalam mengambil keputusan kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam dan kapan waktunya untuk panen,” kata Luhut.

Foto : Menko Luhut hadiri peluncuran OFS (Helda-detikcom)

Luhut juga kembali memuji BMKG atas pencapaian tersebut. Dia merasa bangga dengan komitmen BMKG untuk menggunakan software dan tenaga ahli dalam negeri.

“Sehingga dengan demikian bangsa kita ini bisa juga men-supply high tech untuk kepentingan sendiri tanpa selalu bergantung dari luar. Nah spirit ini yang harus saya apresiasi kepada pak Andi dan seluruh tim yang telah membuat institusi ini begitu bergengsi,” tuturnya.

BMKG yang kini memiliki lima orang mahasiswa yang berasal dari luar negeri, menurut Luhut, menunjukkan bahwa BMKG merupakan akademi yang bergengsi. Dia mengaku bangga atas hal tersebut.

“Mereka punya akademi BMKG dan sekarang punya 5 mahasiswa yang berasal dari luar negeri yaitu Timur Leste, Malaysia, Singapura, Papua Nugini, Brunei dan ini diakui oleh Badan Meteorologi Internasional sebagai pusar untuk monitor masalah tsunami. Saya kira Indonesia bangga melihat institusi yang baik ini,” tutupnya.

(hld/rvk)

sumber : https://news.detik.com/berita/d-3461435/bmkg-luncurkan-ocean-forecast-system-untuk-pantau-cuaca-di-laut#main / Heldina Ulri Lubis Jumat 31 Maret 2017 12:39 WIB

Pemanasan Global dan Ketidakbulatan Bumi


oleh : Andi Eka Sakya


Kita bersyukur bahwa 70% permukaan bumi berisi air. Kalau tidak, niscaya kenaikan suhu muka bumi akan lebih dahsyat dibanding yang sekarang terjadi. Lautan yang luas dan dalam ini menyerap lebih dari 90% panas di atmosfer. Di dalam lautan, panas itu tidak diam begitu saja. Perbedaan panas yang terjadi serta gravitasi antarlokasi mendorong panas tersebut bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya.

Alur jelajah panas ini dari kedalaman menuju ke permukaan. Di permukaan, selain panas ini mengubah air permukaan menjadi uap, juga bergerak sesuai dengan arah gerak angin permukaan. Mekanisme ini terus berjalan, bergantung dari tingginya suhu permukaan, demikian pula jumlah besarnya uap air yang dilepaskan oleh lautan yang demikian luasnya.

Ketidak-merataan pancaran sinar matahari, lokasi, topografi dan juga gravitasi "mengatur" iklim di berbagai wilayah di dunia. Mekanisme pelepasan panas dari laut ke permukaan dalam bentuk uap air tersebut, tampaknya tidak seperti zero sum game. Sisa panas yang tidak terhamburkan keluar, masih tetap berada di dalam lautan. Entah karena potensi pendorongnya tidak cukup atau karena interaksi di permukaan antara lautan dan atmosfer yang menahannya, tetapi "sisa" panas ini terus terpumpun. Sampai saat ini dipercaya bahwa pengaruh gravitasi telah mendorong pumpunan panas ini terkumpul di area kolam panas di sekitar wilayah ekuator, biak itu di Samudra Pasifik atau pun di Samudra Hindia.

Pelepasan panas dalam jumlah yang sangat tinggi, sebagai akibat dari "penyimpanan" panas dalam jumlah yang sangat besar dan tersimpan cukup lama, menjadikan mekanisme iklim mengalami ekstrimitas. El Nino dan La Nina merupakan salah satu dampak ekstrimitas tersebut. Di wilayah Samudra Hindia, ekstrimitas tersebut muncul dalam fenomena yang sering disebut Indian Ocean Dipole Mode (IOD) positif dan negatif.

Dua gejala ekstrimitas alam yang mirip mekanismenya. Keduanya terjadi di-trigger oleh pelepasan panas lautan di sekitar ekuator. Pada masa lalu, bahkan "waktu" pelepasan ini dipahami secara periodikdan teratur dalam waktu 7 tahunan. Tetapi, keniscayaan pemanasan global, membuka mata para pakar bahwa ternyata waktu pelepasan tersebut tidak teratur.

Saat alam sedang dalam masa menangguk dan mengumpulkan sisa-sisa panas yang tidak "terlepas", kita di Indonesia, mengalami periode musim kemarau dan hujan yang "biasa. Musim hujan dan kemarau bertukar peran dalam waktu enam bulanan. Tetapi saat alam melepas hasil "pumpunan" sisa panas, di Indonesia merasakan kemarau yang tak berkesudahan seperti saat kita mengalami El Nino tahun 2015. Jika kejadian tahun 2015 tersebut, berbareng dengan pelepasan panas di Samudra Hindia, IOD positif, maka kita akan mengalami masa kering yang lebih dahsyat lagi, seperti terjadi pada saat tahun 1997/1998.

Sebalikannya, pelepasan yang demikian besar juga menyebabkan alam "kehilangan"energi yang besar. Proses pendinginan sebagai dampak dari besarnya pelepasan energi panas sangat besar, alam perlu menunggu untuk kembali kepada "kondisi" normalnya. Saat itu, terjadi fenomena kebalikan dari El Nino, yaitu La Nina. Di Indonesia, kita mengalami tambahan pasokan hujan yang lebih tinggi dari kondisi biasanya. Hal ini terjadi saat tahun 2016, ketika hampir sebagian wilayah Indonesia tidak mengalami musim kemarau.

Jika pun toh terjadi kemarau, waktunya sangat pendek. Pada tahun 2016 itu, selain La Nina pada tingkat moderat, terjadi pula IOD negatif, yang menambah pasokan uap air bagi Indonesia. Oleh karenanya, masyarakat juga merasakan dan mencatat bahwa di sebagian besar wilayah barat Indonesia, tidak mengalami musim kemarau sama sekali. Dari sejak 50 tahun yang lalu, periode El Nino dan La Nina ini menunjukkan peristiwa yang berurutan. Tahun 2017, ini diperkirakan kondisi iklim di Indonesia berada pada kondisi antara tahun 2015 dan 2016.

Mengapa?

Betapa pun spekulasi tentang proses pelepasan dan penanggukan panas ini dipahami sebagai jawaban dari peristiwa ekstrim di atas, tetapi mekanisme yang sesungguhnya mendorong terjadinya, masih belum banyak diungkapkan. Penjelasan yang diberikan selama ini merujuk pada simulasi komputer. Majalah Economist terbitan 23 Agustus 2014 mencoba menjelaskannya dengan merujuk kajian yang dilakukan Dr. Chen Xianyao (Ocean University of China, Qindao) dan Ka-Kit Tung (University of Washington).

Data yang mereka kumpulkan diperoleh dari hasil pengamatan 3000 Argo yang merupakan bagian dari kerja sama internasional. Kedua peneliti ini menunjukkan konfirmasinya terhadap konsep penanggukan dan pelepasan panas terkait dengan ekstrimitas iklim. Kedua peneliti menunjukkan mekanisme penanggukan panas tersebut tidak hanya sebatas di wilayah Pasifik bagian timur, tetapi juga merambah ke Atlantik.

Kedua peneliti juga menunjukkan bahwa lapisan air laut yang asin di wilayah tropis bergerak ke arah kutub. Saat mendekati kutub, pergerakannya tertahan oleh pertemuan dengan air laut yang lebih segar, dan memperlambat laju pertukaran panas. Mekanisme lebih jauh dari proses ini masih belum diketahui secara pasti. Pemahaman mekanisme ini secara lebih detail, akan membantu proses prediksi pemanasan global yang saat ini terjadi.

Di pihak lain, pergerakan air laut di kedalaman dan pertukarannya, selain disebabkan oleh mekanisme perbedaan salinitas dan suhu, juga didorong oleh gravitasi. Newton yang pertama kali mendefinisikannya setelah memimpikan jatuhnya buah apel dan kemudian menuliskan perumusannya di dalam sebuah makalah yang diterbitkan oleh Jurnal Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, di tahun 1867.

aktual.com

Sejak itu, tetapan gravitasi menjadi bidang yang banyak diteliti dan dibahas. Untuk merujuk ke Newton, tetapan gravitasi universal dituliskan G (huruf besar, 6,6742 m3s-2kg-1). Gravitasi dalam pengertian sebagai gaya tarik, umumnya dinyatakan dalam g (huruf kecil), mempunyai harga yang berbeda untuk lokasi yang berlainan. Seperti telah diketahui bahwa g (huruf kecil, gravitasi bumi) biasanya dipakai angka 9,8 m/s2. Variasi di bumi sekitar 0,7% yaitu antara 9,7639 m/s2 di Perudan 9,8337 m/s2 di permukaan Laut Artik.

 
Postdam Geoid - permukaan bumi berdasarkan variasi gravitasi

Perkembangan teknologi modern, memungkinkan untuk memetakan setiap titik lokasi di bumi dan besarnya gravitasi yang riil. Dalam kaitan ini, Amerika bekerja sama dengan Jerman meneliti gravitasi melalui proyek Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE). Proyek ini diakui sebagai kegiatan yang menghasilkan peta baru gravitasi bumi di setiap lokasi.

Tim GRACE menemukan medan gravitasi berfluktuasi hingga 200 meter. Dr Lee-Lueng Fu mengatakan perbedaan ketinggian muka bumi – betapapun tampaknya datar – ternyata bergelombang seperti bukit dan gunung. Yang menarik adalah hasil pengamatan GRACE tersebut menjadi basis perhitungan oleh Tim GFZ Postdam untuk menggambarkan permukaan bumi berbasis gravitasi.

Mereka merilis geoid (peta rupa purwa bumi), Postdam geoid, yang ternyata tidak bulat seperti kita pahami saat ini. Perbedaan ketinggian permukaan Samudra Hindia dengan wilayah di timur Indonesia bisa mencapai 150 m dilihat berdasarkan variasi gravitasi yang terukur (lihat gambar).

Para peneliti masih berspekulasi bahwa variasi medan gravitasi yang menghasilkan "Potsdam Potato" ini juga dipengaruhi oleh perbedaan arus, angin dan pasang surut. Perbedaan salinitas ternyata juga memacu laju pergerakan arus laut di kedalaman terkait dengan proses penghantaran panas dari wilayah tropis ke kutub.

Proses penelitian yang akurat seperti yang dihasilkan GRACE, telah menghasilkan peta sebaran medan gravitasi yang jauh lebih teliti. Tampaknya para peneliti akan memahami secara lebih jelas tentang pemanasan global, manakala ketidakbulatan bumi mengantar pada pemahaman sirkulasi laut secara global, mekanisme penyimpanan panas dan tinggi muka laut.



Andi Eka Sakya
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika


Sumber : Majalah Sains Indonesia Edisi Maret 2017 vol 63

Wednesday, February 15, 2017

Kunjungi BMKG, Menhub Coba Alat Simulator Gempa



Jakarta - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sore ini melakukan kunjungan kerja ke Kantor Pusat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika di Jalan Angkasa I, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (15/2/2017).

Budi Karya tiba di lokasi sekitar pukul 15.20 WIB, dengan mengenakan seram lengkap Kementerian Perhubungan. Dirinya datang didampingi oleh Sekretaris Jendral Kementerian Perhubungan Sugihardjo, serta Dirjen Perhubungan Udara Suprasetyo dan Dirjen Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono.

Setibanya di lokasi, ia langsung disambut oleh Kepala BMKG Pusat, Andi Eka Sakya serta sejumlah pegawai BMKG lainnya yang telah menunggu.


"Selamat datang Pak," sambut Andi.


Di BMKG, Budi Karya sempat merasakan alat simulator gempa bumi yang ada di sana. Dirinya didampingi Andi Eka mencoba simulasi gempa berkekuatan 8,5 Skala Richter (SR) yang sempat melanda Banda Aceh pada tahun 2004 silam.

Usai mencoba simulator gempa bumi, Budi Karya kemudian melihat diorama sistem peringatan dini tsunami Indonesia, sambil mendengarkan penjelasan dari Andi Eka.

Setelah beberapa waktu berbincang sana-sini dengan pihak BMKG, Budi Karya bersama rombongan kemudian menaiki lift ke lantai 4 menuju ruang Meteorologi Early Warning System (MEWS) dan ruang Tsunami Early Warning System (TEWS). (dna/dna)






Wednesday, October 5, 2016

SIKAP Menjaga Akurasi Prakiraan BMKG



Oleh
Regina Yulia Yasmin dan Andi Eka Sakya



Pada 18 Februari 2014, Gunung Kelud dilanda banjir lahar dingin setelah meletus (13 Februari) sekitar pukul 23.00 WIB. Beberapa alat berat digunakan untuk membersihkan abu turut terseret derasnya arus banjir lahar dingin. Prakiraan hujan lebat di sekitar Gunung Kelud dan dampak banjir lahar dingin disampaikan oleh BMKG sejak satu hari setelah letusan. Informasi disampaikan melalui media elektronik maupun pada pertemuan resmi di tingkat pusat/daerah. Tidak ada korban yang terjadi, walaupun banjir lahar terjadi.

Informasi potensi banjir dikembangkan dari prakiraan hujan lebat yang diolah dari berbagai data (setelah mengumpulkan pengamatan dengan sejumlah peralatan, baik di permukaan maupun berdasarkan penginderaan jauh. Hasil pengolahan, berupa informasi potensi hujan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk probabilitas, waktu, lokasi dan intensitasnya, berdasarkan data bisa dengan cepat dapat diolah dan diperoleh. Informasi peluang dan prakiraan intensitasnya disebarkan dalam waktu 12, 6, 3 dan 1 jam sebelum terjadinya. Semakin pendek jarak waktu prakiraan, semakin besar peluang ketepatannya. 

Peralatan pengamatan cukup banyak. BMKG saja memiliki lebih dari 150 taman alat, yang dilengkapi alat ukur: suhu, kecepatan dan arah angin, tekanan udara, kelembaban, curah hujan, radiasi matahari. Belum lagi ada pengukur suhu kering dan suhu basah. Saat ini terdapat 40 radar cuaca di seluruh Indonesia. Jangan dibandingkan dengan Tiongkok yang mempu-nyai 181, Jepang 20, atau Australia 58. Itu hanya untuk keperluan prakiraan cuaca. Masih ada lagi satelit. Juga balon yang memuat sensor arah dan kecepatan angin, suhu, yang diluncurkan, paling tidak, setiap hari dua kali, pagi dan sore. Di beberapa stasiun pengamatan, dilengkapi pula seismograf dan pengukur medan magnet, bahkan juga geo-magnet untuk mengamati precursor gempa bumi. 

Pentingnya instrumen dan metode observasi dalam membuat prakiraan cuaca, untuk keselamatan hidup, perlindungan aset dan lingkungan, tidak dapat disangkal. Untuk membuat prakiraan cuaca yang efektif dan tepat waktu, sangat penting untuk mendapatkan data akurat dari berbagai parameter cuaca yang tersedia. Hal ini dapat dicapai melalui pemantauan cuaca menggunakan instrumen dan peralatan yang handal dan memiliki penyimpangan pembacaan minimal. Untuk itu diperlukan pemeliharaan rutin dan kalibrasi instrumen meteorologi, standardisasi instrumen meteorologi, perbandingan instrumen internasional dan evaluasi, dan pelatihan instrumen ahli.

Peralatan pengamatan cuaca harus laik operasi dan tepat hasil angka ukurnya. Selisih yang kecil saja, akan sangat berpengaruh pada ketepatan hasil olahan informasinya. Untuk memastikan bahwa nilai terukur (standar) menunjukan nilai yang akurat, setiap kali, secara periodik perlu dilakukan pemeliharaan dan kalibrasi. 

Pemakaian radar cuaca untuk pengamatan awan dan potensi curah hujan, saat ini sudah menjadi jamak. Seiring dengan semakin canggih dan kompleknya peralatan, pemeliharaan dan kalibrasi "terpaksa" harus dilakukan bersamaan. Bagi Indonesia, kebutuhan radar yang dapat "menyatukan dan memadukan" gambaran perkembangan dan dinamika perawanan, tidak saja akan sangat membantu, tetapi sebaliknya diperlukan cukup banyak. Problem pemeliharaan dan kalibrasi ini akan menjadi "tambahan" persoalan yang harus diselesaikan.

Catatan WMO atas hasil survei yang dilakukan oleh Oguzhan Sireci (2011), menunjukan bahwa upaya pemeliharaan preventif menjadi upaya yang umum dilakukan, baik per bulan (19%) maupun setiap 3 bulan (19%). Di lain pihak, melakukan pemeliharaan regular setiap 6 bulan (15%), dan 9% setiap tahunnya. Beberapa lembaga melakukan tiap 2 minggu (8%), bahkan ada pula yang melakukan pemeliharaan dan kalibrasi setiap minggu sekali (7%). Namun demikian, 23% dari pengguna radar cuaca justru tidak pernah melakukan, pemeliharaan pemeliharaan preventif maupun reguler.


Lebih jauh, pemeliharaan dilakukan sendiri (61%) sedangkan 21% diserahkan kepada perusahaan lokal atau pabrikan (4%) (Sireci, WMO,2011). Dalam hal dilakukan sendiri, pada umumnyadukungan diperoleh dari dari pabrikan. persoalan SDM merupakan hal yang biasa ditemui untuk alat-alat yang semakin kompleks. Karena, seperti radar cuaca, misalnya mensyaratkan keahlian dan keterampilan khusus.

Pelaksanaan kalibrasi menjadi permasalahan tersendiri saat dihadapkan pada jumlah peralatan pengamatan yang banyak dan berada di lokasi yang berbeda-beda. Bisa dibayangkan jika alat pengukur curah hujan saja berjumlah lebih dari 5.000 buah tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Belum lagi di tambah dengan 250 buah Automatic Weather Station, 264 seismograph dan lebih dari 120 taman alat yang memuat alat ukur 7 parameter cuaca dan iklim. Pengaturan perlu dilakukan, baik petugasnya, peralatan kalibratornya, periodisitas kalibrasinya, dan pendokumentasiannya agar tetap bisa tertelusur.

Tidak bisa disangkal, negara seperti Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan dipisahkan oleh lautan yang sifatnya rentan terhadap bencana mensyaratkan penempatan peralatan secara tersebar, mulai dari perkotaan, hingga pelosok daerah, pantai maupun pegunungan. Untuk menunjang kegiatan operasional dan pengambilan keputusan strategis maka diperlukan manajemen yang mengelola peralatan dan suku cadang, sumber daya manusia dan pengembangannya. Manajemen peralatan terintegrasi dengan manajemen sumber daya manusia, dan manajemen inventarisasi suku cadang. Untuk mempermudah pengelolaan dan pengambilan data, keseluruhan informasi diintegrasikan dalam Sistem Informasi Kalibrasi dan Pemeliharaan (SIKAP) yang dibangun dengan basis web.

Gagasan yang melandasi dikembangkannya SIKAP ditunjukan untuk : (1) meningkatkan efisiensi dan menekan biaya operasional; (2) menyediakan informasi yang lengkap, teliti dan tepat-waktu untuk keperluan pemeliharaan dan kalibrasi; (3) membantu perencanaan, pelaksanaan dan monitoring proses pemeliharaan dan kalibrasi; (4) menyederhanakan kompleksitas pelaksanaan, serta status pemeliharaan dan kalibrasi, terutama untuk kuantitas yang banyak dan variatifnya peralatan; (5) mempercepat proses pembuatan pelaporan status pelaksanaan pemeliharaan dan kalibrasi; (6) memfasilitasi persiapan dan penyiapan dukungan logistik pelaksanaan pemeliharaan dan kalibrasi; dan (7) membantu pemetaan, perencanaan pemenuhan kebutuhan SDM di sisi jumlah dan kompetensi yang diperlukan serta rewarding SDM.

SIKAP diharapkan memberikan gambar secara real time yang akurat mengenai pemeliharaan dan kalibrasi peralatan, suku cadang serta dukungan sumber daya manusia; mempermudah pengelolaan peralatan dan  suku cadang secara efektif dan efisien, memberikan laporan dashboard yang terintegrasi untuk memudahkan pengambilan keputusan.



Regina Yulia Yasmin adalah peneliti BMKG
Andi Eka Sakya adalah Kepala BMKG



Sumber : Majalah Sains Indonesia Edisi 58 / Oktober 2016 Hal 81





Wednesday, September 7, 2016

BMKG dan BNPB Gelar Indian Ocean Wave Exercise 2016 Untuk Kesiapan Menghadapi Tsunami di Samudera Hindia


Negara-negara di kawasan Samudra Hindia kembali menguji coba sistem peringatan dini tsunami, Rabu (7/9), dengan skenario gempa berkekuatan 9,2 di zona Megathrust Kepulauan Mentawai.
Simulasi yang dinamakan Indian Ocean Wave Tsunami Exercise 2016 (IOWAVE16) merupakan agenda dua tahunan dari negara-negara berpotensi terdampak tsunami di Samudra Hindia sebagai respon atas banyaknya korban jiwa saat tsunami Aceh 26 Desember 2004.
“BMKG hari ini menggelar Indian Ocean Wave Exercise (IOWAVE16), yang merupakan program gladi berkala dua tahunan ICG/IOTWS – Sistem Peringatan Dini dan Mitigasi Tsunami untuk negara-negara di Samudera Hindia. Gladi berkala ini telah dilakukan sejak 2009. Gladi pada tahun 2016 ini sekaligus menjadi salah satu bentuk sumbangsih Indonesia dalam menyambut Hari Kesiapsiagaan Tsunami Dunia (World Tsunami Awareness Day),” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya dalam pres rilisnya pagi ini di Jakarta.
Pada kegiatan IOWAVE16 ini, BMKG sebagai penyedia peringatan dini tsunami (Tsunami Service Provider) akan mendiseminasikan peringatan dini tsunami ke National Tsunami Warning Center (NTWC) di 24 negara Samudera Hindia, untuk diteruskan kepada badan-badan penanggulangan bencana / Disaster Management Offices (DMO).
IOWAVE16 Indonesia yang digelar bersama BNPB pagi ini, dengan bantuan teknis dari UNESCO Jakarta dan dukungan komunikasi strategis dari UN ESCAP serta didukung oleh pemerintah Jepang. Gelar ini akan menjadi masukan berharga bagi proposal perbaikan Tsunami Masterplan Indonesia yaitu penyusunan agenda Indonesia dalam perbaikan sistem penanggulanan bencana Tsunami di kawasan Samudera Hindia, baik melalui Konferensi Tingkat Menteri tentang Penanggulangan Bencana di New Delhi, Konferensi Internasional tentang Tsunami Ready dengan UNESCO, ataupun wahana regional UNESCAP.
Deputi Bidang Geofisika BMKG Masturyono mengatakan, peran Indonesia sebagai salah satu Tsunami Service Providers (TSPs), atau penyedia informasi Tsunami di Samudera Hindia bersama Australia dan India, akan semakin penting dengan ditetapkannya BMKG menjadi tuan rumah dari Indian Ocean Tsunami Information Centre (IOTIC) yang dibentuk sebagai pusat informasi Tsunami, kesiapsiagaan, pendidikan dan penguatan kapasitas di kawasan Samudera Hindia oleh IOC/UNESCO.
Pada tingkat nasional, BMKG dalam perannya sebagai NTWC, akan menyebarkan peringatan dini tsunami kepada para pemangku kepentingan untuk diteruskan kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk memvalidasi rantai informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami mulai dari diseminasi, pemahaman produk dan moda komunikasi, serta melatih kesiapsiagaan daerah dan masyarakat, dalam mengantisipasi Tsunami dan menguji prosedur tetap melalui Tabletop Exercise dan Tsunami Drill”, tambahnya.
Menurut Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Mochammad Riyadi, IOWAVE16 merupakan simulasi ke-4 yang pernah diikuti Indonesia. Gladi IOWAVE16 dilakukan berdasarkan skenario gempabumi berkekuatan 9,2 di barat daya Sumatera yang terjadi pada pukul 10.00 WIB, 7 September 2016. IOWAVE16 digelar melibatkan lebih dari 3.000 orang dari berbagai unsur masyarakat, di Padang, Pangandaran, Pandeglang dan Pacitan. Dengan sekenario kekuatan gempa sebesar itu dianggap paling mungkin berdampak besar bagi Indonesia dan negara-negara yang berhadapan dengan Samudera Hindia.
Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, dengan melakukan pemodelan, kita mengetahui wilayah-wilayah Indonesia yang akan terdampak tsunami seperti pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, NTB dan NTT. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa hampir seluruh pantai negara di Samudera Hindia terdampak tsunami meskipun dengan ketinggian bervariasi. Sejumlah wilayah yang berpotensi terdampak tsunami merusak adalah sepanjang pantai barat Sumatera, Sri Lanka, India bagian selatan, Maladewa, dan Madagaskar bagian tenggara.
Hingga kini, salah satu wilayah yang dikhawatirkan akan terjadi gempa besar adalah Kepulaun Mentawai di Sumatera Barat. Pelatihan rutin IOWAVE sangat penting dan harus terus dilakukan, mengingat kejadian tsunami besar dan merusak relatif jarang, tetapi jika terjadi potensi korban jiwa yang ditimbulkan bisa sangat besar.***




Friday, September 2, 2016

Waspadai Banjir Menjelang Akhir Tahun


Sebagian wilayah Indonesia semakin sering diguyur hujan deras sejak Agustus. Masyarakat perlu waspada terhadap banjir dan tanah longsor, seiring meningkatnya intensitas dan curah hujan menjelang akhir tahun.
Sejumlah Daerah di Indonesia rawan mengalami bencana banjir dan tanah longsor saat musim hujan, ketika intensitas dan curah hujan melebihi ambang normal. BMKG memprakirakan hujan deras akan semakin sering mengguyur sebagian wilayah Tanah Air, hingga awal 2017
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengatakan sejumlah wilayah di Indonesia mengalami awal musim hujan periode 2016/2017 pada Agustus-November. “Hujan yang terus mengguyur sejumlah wilayah, bahkan sejak memasuki 2016, mempertegas terjadinya kemarau basah tahun ini. Wilayah tersebut, sampai Agustus pun belum mengalami kemarau, meskipun pada periode itu adalah musim kemarau. Di sisi lain, Agustus hingga November sebagian besar wilayah Indonesia sudah masuk awal musim hujan 2016/2017. Melihat tren dan data dari berbagai pengamatan, kami mengimbau masyarakat untuk mewaspadai potensi bencana banjir dan longsor,” kata Andi kepada Majalah Sains Indonesia. 
Andi menjelaskan, tahun ini kondisi iklim di Indonesia akan dipengaruhi oleh fenomena La Nina, yang muncul mengikuti peristiwa El Nino kuat di 2015.  Saat dilanda El Nino, Indonesia mengalami musim kemarau yang lebih panjang. Kondisi itu berdampak pada kekeringan di sejumlah daerah di Tanah Air dan meningkatnya sebaran titik panas (hot spot) di Sumatra dan Kalimantan, sehingga kebakaran hutan/lahan dan bencana asap terjadi cukup parah tahun lalu. Sedangkan, La Nina akan mempengaruhi terjadinya hujan sepanjang musim kemarau sehingga dikenal sebagai kemarau basah (wet spell). 
Saat terjadi La Nina juga akan muncul fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) negatif, yang memengaruhi kondisi suhu muka laut di sebagian wilayah Indonesia, seperti di bagian barat Sumatra, lebih hangat dari suhu muka laut di Pantai Timur Afrika. Kondisi ini berpengaruh pada meningkatnya pasokan uap air sehingga menyebabkan curah hujan meningkat, teruta-ma di wilayah Indonesia bagian barat. Hujan akan terjadi dengan intensitas dan curah yang tinggi. 
“Melihat data yang ada, dalam 50 tahun terakhir, El Nino kuat akan diikuti munculnya La Nina. Prakiraannya, tahun ini La Nina muncul Juni-September, dengan kategori lemah. Sebagian lembaga internasional juga ada yang memprediksi La Nina muncul Agustus-Oktober. Kami ingin mengingatkan lagi, dengan kondisi iklim ini, hujan berpeluang sering terjadi dengan sifat di atas normal (curah hujan tinggi). Dengan menyampaikan peringatan dini, kami berharap masyarakat dan semua instansi terutama peme-rintah daerah lebih siap mengantisipasi potensi bencana,” kata Andi.           
Respons Minimalkan Bencana 
Kepala Bidang Informasi Iklim BMKG, Evi Lutfiati, menjelaskan kondisi IOD (negatif) diprediksi menguat pada Juli hingga September. Kondisi ini memicu bertambahnya potensi hujan di atas normal pada periode musim kemarau 2016, terutama pada Juli, Agustus, dan September. Wilayah yang mengalami itu antara lain Sumatra Utara bagian barat, Sumatra Barat bagian barat, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa bagian barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Papua. 
"Sampai September, intensitas La Nina diprediksi masih lemah. Tapi, fenomena yang mempengaruhi terjadinya curah hujan tinggi ini akan berlanjut dan berpeluang menguat sampai 2017. Agustus ini, sebagian sumatra, terutama Riau intensitas hujannya rendah dan sifat (curah) hujan juga di bawah normal, namun mulai September di prakirakan hujan akan meningkat. Meskipun berpeluang hujan meningkat, tetap perlu diwaspadai untuk munculnya  hot spot di Sumatra. Sedangkan, untuk wilayah yang mulai masuk musim hujan dan akan semakin sering di guyur hujan setidaknya sampai awal 2017, agar waspada bencana banjir dan tanah longsor", kata Evi kepada Majalah Sains Indonesia.

Andi Eka Sakya menambahkan, dengan informasi dan peringatan dini yang disampaikan diharapkan dapat meminimalkan potensi bencana yang terjadi. Menurut Andi, kini beberapa instansi (kementerian) dan bahkan Pemda sudah sigap menanggapi informasi yang dirilis BMKG. Bahkan, sejumlah menteri dan gubernur justru berinisiatif sendiri meminta data kepada BMKG, sebagai acuan mengambil langkah cepat dan kebijakan menyikapi kondisi iklim saat ini.
"Misalnya, di Riau. Sekarang ini Pemda sudah lebih aktif bertanya dan segera melakukan langkah antisipasi untuk mengatasi hot spot. Kita lihat, tahun ini hot spot tidak separah sebelumnya. Contoh lain Jawa Tengah, ketika gubernur cepat merespon informasi terkait longsor di Karanganyar. Pada waktu itu Pak Ganjar (Gubernur Jawa Tengah) langsung meminta penduduk agar direlokasi, dan semua mengikuti imbauan tersebut sehingga ketika terjadi bencana tidak ada korban. Jadi, secepat apapun informasi dan peringatan dini yang di sampaikan, tidak akan ada artinya, bila tidak di respon dan tidak disikapi dengan kebijakan tepat. Yang harus merespon bukan hanya pengambil kebijakan, tetapi juga masyarakat. Sebab, kebijakan yang dimaksud untuk meminimalkan bencana pun tidak akan ada manfaatnya bila tidak dilakukan di lapangan," katanya.
Andi juga menuturkan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bahkan mendapat penghargaan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), karena kesigapan mengantisipasi bencana tanah longsor di karanganyar. Namun sayang, keberhasilan itu tidak serta merta membuat masyarakat memahami pentingnya informasi dan peringatan dini. Misalnya, untuk kejadian longsor di di Purworejo, disayangkan, karena imbauan gibernur agar masyarakat di relokasi tidak didengar sehingga bencana menimbulkan banyak korban. 
"Antisipasi menanggapi bencana memang masih perlu ditingkatkan, agar masyarakat lebih memahami ancaman dan potensi bencana yang berbeda-beda di setiap daerah," kata Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.


Henny Ariesta Diana


Sumber : Majalah Sains Indonesia Edisi 57, September 2016, Hal : 51-53




Fenomena Gelombang Tinggi dan Banjir Rob di Pesisir Indonesia


 Oleh : Andri Ramdhani, Andi Eka Sakya, 
Roni Kurniawan, dan Bayu Edo Pratama



Gelombang pasang air laut 7–10 Juni 2016 menyebabkan sejumlah wilayah pesisir Indonesia mengalami banjir rob. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan sejumlah wilayah pesisir mengalami banjir rob akibat laut pasang, me-nimbulkan kerugian dan gangguan terhadap aktivitas masyarakat di wilayah pesisir barat Sumatra, pantai utara (Pantura) Jawa, pantai selatan Jawa hingga Bali.

Terdapat beberapa istilah di masyarakat dalam menyebutkan banjir pantai ini, di antaranya adalah banjir rob, banjir pesisir, banjir pantai dan gelombang pasang. World Meteorological Organization (WMO) menamakan fenomena ini dengan sebutan coastal inundation yaitu banjir atau genangan di pantai akibat faktor meteorologi, hidrologi, dan oseanografi. 

Masyakarat pesisir di Pantura lebih mengenal fenomena ini dengan sebutan banjir rob. Istilah ini digunakan untuk membedakan banjir yang berasal dari laut dengan banjir dari luapan sungai akibat peningkatan adanya curah hujan. Berbeda halnya dengan masyarakat di pesisir barat Sumatra, selatan Jawa hingga Nusa Teng-gara Timur (NTT), mereka menyebutnya seba-gai gelombang pasang. 

Kejadian ini sangat menarik untuk dikaji sebagai evaluasi dan mitigasi ke depan. Pada periode tersebut juga terjadi peningkatan tinggi muka air laut yang menggenang beberapa pantai di Pantura dan pantai selatan Jawa. Analisis awal menunjukkan bahwa saat itu merupakan awal bulan baru yaitu posisi matahari, bulan, dan bumi berada dalam satu garis lurus. Kondisi konjunsi ini  menyebabkan pasang naik yang sangat tinggi dan pasang surut yang sangat rendah. Gejala alam seperti ini, pasang naik atau turun pada saat terjadinya konjungsi disebut spring tide. Kejadian ini merupakan siklus bulan-an yang normal terjadi setiap bulannya, walaupun tidak setiap saat terjadi konjungsi. 

Kenaikan tinggi muka air laut yang terajdi pada tanggal 7 – 10 Juni 2016 dapat dilihat dengan adanya anomali positif tinggi permukaan air laut (Sea Surface Height, SSH) di bebe-rapa wilayah perairan Indonesia. Variasi kenaikannya sekitar 20 – 30 cm, antara lain di Perairan barat Sumatra, Selat Malaka bagian tengah, Perairan Pantura Jawa, Perairan selatan Jawa, dan Perairan selatan Bali.

Time-series TML di pantai Utara dan selatan Pulau Lombok dan Sumbawa

Tren kenaikan SSH ini diduga juga berhubungan dengan ENSO, El Nino dan La Nina yang mempengaruhi karakteristik tinggi muka laut (TML). Berdasarkan time-series TML dari tahun 1993 sampai 2008 terlihat bahwa pada saat terjadi El Nino, TML akan terdepresi sebesar 20 cm di bawah normal. Sebaiknya, pada periode La Nina akan ter-elevasi sebesar 10-20 cm (Sofian, 2008).

Kenaikan TML saat transisi El Nino dan La Nina disebabkan penguatan trade wind di Samudra Pasifik yang membawa masa air dari Pasifik Timur di sekitar Peru ke daerah Perairan Indonesia yang ditandai dengan perpindahan kolam air hangat (warm pool) dari Pasifik Tengah ke Perairan Indonesia. Kondisi ini menyebabkan naiknya tinggi muka air laut di perairan Indonesia. Kombinasi fenomena astronomis dan meteorologis menjadi pemicu pasang tinggi dengan anomaly positif tinggi muka air laut di beberapa perairan Indonesia dan menyebabkan bencana banjir rob pada 7-10 Juni 2016. Pada periode itu juga terjadi gelombang pasang di pesisir pantai selatan Jawa.

Angin Permukaan tanggal 7 Juni 2016 jam 12 UTC
(BMKG, http://peta-maritim.bmkg.go.id/2.0/peta_interaktif.php).

Dari pola tekanan udara terlihat adanya pusat tekanan tinggi sub tropis (mascarene high) di sekitar 300 LS Samudra Hindia di sebelah Barat Australia. Fenomena ini terjadi bulan Juni – September. Pusat tekanan tinggi mencapai 1029 Hpa terpantau sejak 7 Juni 2016 dengan tren menguat dan cenderung bergerak ke arah timur di sebelah selatan jawa. Di sekitarnya terpantau angina permukaan 25-30 knot. Sedangkan, kecepatan angina di selatan jawa saat itu di dominasi angin timur – tenggara dengan kecepatan 5-10 knot.

Tinggi Gelombang signifikan tanggal 8 Juni 2016
(model gelombang Ina-Waves BMKG,
http://peta-maritim.bmkg.go.id/2.0/peta_interaktif.php).

Kemunculan mascarene high di sebelah barat Australia memicu angina kencang dan tinggi gelombang 6-8 m. Simulasi model numerik Ina-Waves BMKG 8 Juni 2016 menunjukan tinggi gelombang signifikasi di pesisir selatan Jawa bervariasi antara 4-5 meter. Terlebih lagi, terlihat bahwa gelombang ekstrem yang terjadi di selatan Jawa tersebut lebih didominasi oleh alun atau swell dibandingkan dengan ombak atau windsea.

Tinggi gelombang laut yang bervariasi di picu oleh mascarane high dan bersuperposisi dengan pasang tertinggi serta anomaly tinggi muka laut hingga 30cm memicu terjadinya bencana storm tide di pesisir pantai selatan jawa, Bali dan NTB. Kondisi ini berdampak lebih buruk bagi masyarakat pesisir selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB), dibandingkan banjir rob di pesisir utara jawa.

Berdasarkan hasil simulasi numerik tinggi gelombang, BMKG merilis peringatan dini gelombang tinggi dan banjir rob sejak jauh hari. Kewaspadaan dini diperlukan untuk memitigasi kerugian dan korban yang mungkin terjadi akibat “bencana” gelombang tinggi, tidak saja bagi nelayan pencarian ikan, tetapi juga kegiatan wisata pantai, distribusi logistic antarpulau, dan transportasi laut.

Andri Ramdhani, Roni Kurniawan,
dan Bayu Edo Pratama adalah peneliti BMKG.
Andi Eka Sakya, adalah Kepala BMKG.



Sumber : Majalah Sains Indonesia Edisi 57, September 2016, Hal: 67-69